Tuberkulosis (TBC) selama ini dikenal sebagai penyakit yang menyerang kelompok berisiko tinggi, seperti individu dengan sistem imun lemah, penduduk di wilayah endemik, serta mereka yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rentan.


Namun, data epidemiologis dan laporan klinis terkini menunjukkan bahwa TBC tidak hanya mengancam kelompok tersebut. Kini, TBC juga menyerang individu yang sebelumnya dianggap rendah risiko, fenomena ini memunculkan tantangan baru dalam diagnosis dan penanganannya.


Rethinking Risk: TBC Tak Lagi Milik Kelompok Tertentu


Pendekatan konvensional dalam menilai risiko TBC sering kali tidak mempertimbangkan individu yang tidak memiliki riwayat kontak, tidak tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi, atau tidak memiliki gangguan imun. Namun, menurut Dr. Jessica Seidelman, MD, MPH, kejadian luar biasa TBC di Kansas menjadi peringatan penting bagi dokter layanan gawat darurat.


"Pasien yang datang ke IGD dengan batuk berkepanjangan, demam tanpa sebab jelas, penurunan berat badan, atau batuk berdarah, tidak bisa lagi langsung dianggap hanya mengalami infeksi pernapasan biasa. Hal ini menjadi krusial terutama di daerah yang sedang mengalami lonjakan kasus TBC," ujarnya.


Gejala pada Pasien Risiko Rendah: Tersamar dan Tidak Biasa


TBC pada individu dengan risiko rendah seringkali hadir dalam bentuk gejala yang tidak spesifik, seperti batuk lama, demam ringan berkepanjangan, atau penurunan berat badan perlahan. Karena gejalanya mirip dengan penyakit pernapasan lainnya, seperti bronkitis atau infeksi virus ringan, diagnosis TBC sering kali terlambat ditegakkan.


Lebih lanjut, pada pasien ini, TBC bisa muncul di luar paru-paru (ekstraparu), misalnya sebagai pembesaran kelenjar getah bening atau infeksi tulang. Kondisi ini membuat diagnosis semakin sulit. Oleh karena itu, tenaga kesehatan perlu meningkatkan kewaspadaan terutama pada pasien yang tidak kunjung membaik meski sudah mendapat pengobatan standar.


Kemajuan Diagnostik: Solusi untuk Kasus yang Sulit Dideteksi


Beruntung, kemajuan teknologi telah membuka jalan baru dalam mendeteksi TBC, bahkan pada pasien yang dianggap tidak berisiko tinggi. Salah satu terobosan penting adalah penggunaan tes molekuler seperti Xpert MTB/RIF Ultra, yang mampu mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dengan akurasi tinggi, bahkan dalam kasus dengan jumlah bakteri yang sangat sedikit.


Selain itu, tes Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs) kini semakin banyak digunakan untuk mendeteksi TBC laten. Tes ini lebih akurat karena tidak terganggu oleh vaksinasi BCG yang banyak dilakukan di Indonesia.


Dr. Seidelman kembali menekankan bahwa "pengalaman di Kansas menunjukkan bahwa petugas medis harus mengubah cara pandangnya. Gejala seperti batuk lama dan penurunan berat badan tidak boleh diremehkan, bahkan pada pasien yang terlihat sehat dan tidak punya riwayat paparan."


Faktor Risiko Baru: Mengapa Orang Sehat Bisa Terkena TBC?


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada sejumlah faktor yang dapat memicu reaktivasi atau infeksi TBC pada individu dengan risiko rendah. Di antaranya adalah:


Stres kronis dan kekurangan gizi: Kedua hal ini dapat mengganggu keseimbangan sistem imun, meskipun tampak sepele.


Paparan lingkungan: Polusi udara di kota besar dan kondisi kerja tertentu dapat meningkatkan risiko seseorang terkena TBC.


Perubahan imunologis halus: Faktor seperti usia lanjut dan penggunaan obat-obatan tertentu, meski tidak tergolong imunodepresan berat, bisa membuat tubuh lebih rentan.


Penanganan dan Prognosis: Deteksi Dini Menentukan Kesembuhan


Meski protokol pengobatan TBC relatif seragam, pasien dari kelompok risiko rendah umumnya menunjukkan hasil terapi yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh minimnya penyakit penyerta dan kemampuan mereka untuk lebih konsisten dalam menjalani pengobatan.


Namun, keterlambatan diagnosis tetap menjadi masalah serius. Dalam banyak kasus, pasien baru mendapat terapi saat kondisinya sudah cukup parah, sehingga butuh pengobatan yang lebih lama dan intensif.


Pengawasan ketat terhadap kemungkinan resistensi obat juga wajib dilakukan. Meskipun pasien tergolong risiko rendah, kasus TBC dengan resistensi terhadap beberapa jenis antibiotik (MDR-TB) tetap bisa terjadi. Ini menunjukkan pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak dan terukur.


TBC bukan lagi penyakit yang terbatas pada kelompok tertentu. Kini, siapa saja bisa terkena, termasuk individu yang tampaknya sehat dan tidak memiliki faktor risiko klasik.


Menurut Dr. Henry M. Blumberg, MD, "TBC tetap menjadi tantangan kesehatan global yang tidak bisa disederhanakan hanya berdasarkan kelompok risiko. Upaya pengendalian yang efektif memerlukan deteksi dini dan perluasan pengawasan terhadap seluruh populasi."