Stres yang dialami ibu selama kehamilan bukanlah hal sederhana. Faktor ini ternyata memiliki pengaruh besar, tidak hanya pada kelahiran bayi, tetapi juga pada perkembangan jangka panjang anak.
Berbagai penelitian terbaru mengungkapkan bagaimana stres prenatal bisa memengaruhi pertumbuhan janin, perkembangan otak, hingga perilaku anak di masa depan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental ibu selama masa kehamilan.
Berbagai studi menunjukkan bahwa stres yang tinggi pada ibu hamil berhubungan dengan risiko kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan bayi dengan ukuran kecil sesuai usia kehamilan. Saat ibu mengalami stres, tubuhnya mengalami perubahan hormon yang signifikan, terutama pada sistem hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dan hormon pelepas kortikotropin dari plasenta (CRH). Perubahan hormon ini bisa mempercepat proses persalinan dan mengurangi durasi kehamilan. Selain itu, fungsi plasenta yang terganggu akibat stres dapat menyebabkan pertumbuhan janin tidak optimal.
Meski demikian, studi besar mengungkapkan bahwa hubungan antara stres prenatal dan hasil kelahiran tersebut bisa saja dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan keluarga. Artinya, efek langsung stres dari dalam rahim tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor lain yang turut memengaruhi hasil akhir. Hal ini menegaskan betapa kompleksnya mengidentifikasi dampak stres secara spesifik.
Paparan stres psikologis ibu selama kehamilan ternyata berdampak pada struktur dan fungsi otak janin. Penelitian menunjukkan adanya penurunan volume hippocampus dan cerebellum, perubahan ketebalan korteks, serta gangguan pada konektivitas fungsional otak pada bayi dan anak yang lahir dari ibu dengan tingkat stres tinggi. Perubahan ini terkait dengan gangguan kemampuan kognitif, bahasa, memori, serta interaksi sosial dan emosional. Bahkan, risiko gangguan neuropsikiatri di kemudian hari juga meningkat.
Mekanisme biologis yang menyebabkan hal ini antara lain adalah gangguan fungsi plasenta, modifikasi epigenetik, proses inflamasi, dan ketidakseimbangan sistem HPA janin. Proses-proses ini ikut berkontribusi pada perkembangan otak yang tidak optimal dan masalah neurobehavioral yang muncul kemudian.
Anak-anak yang lahir dari ibu yang mengalami stres berat selama kehamilan cenderung menunjukkan masalah emosional, gangguan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), gangguan perilaku, serta penurunan kemampuan kognitif. Studi kohort prospektif membuktikan bahwa kecemasan dan depresi pada ibu hamil meningkatkan risiko dua kali lipat munculnya kesulitan perilaku dan emosional pada anak, tanpa terpengaruh oleh faktor lingkungan setelah kelahiran.
Dr. Catherine Monk, seorang ahli terkemuka di bidang psikiatri perinatal, menekankan bahwa "stres psikologis ibu selama kehamilan tidak hanya berisiko menyebabkan hasil kelahiran yang buruk, tetapi juga tantangan perkembangan neuro jangka panjang pada anak." Oleh karena itu, ia menyarankan agar screening kesehatan mental menjadi bagian rutin dari perawatan kehamilan. Intervensi dini seperti terapi kognitif perilaku dan penggunaan obat antidepresan tertentu seperti selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) dapat membantu mengurangi stres ibu serta berpotensi memperbaiki hasil kelahiran dan perkembangan anak.
Kesimpulannya, stres ibu selama masa kehamilan memberikan pengaruh besar terhadap kelahiran dan jalannya perkembangan neuro anak. Walaupun beberapa hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, bukti biologis yang kuat dan penelitian yang terus berkembang menunjukkan pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental ibu hamil. Deteksi dini dan penanganan stres selama masa kehamilan sangat penting untuk memastikan kesehatan jangka panjang anak-anak yang lahir nantinya.