Perubahan iklim yang semakin cepat, preferensi konsumen yang berubah, serta regulasi yang semakin ketat telah memicu transformasi besar dalam sektor keuangan global. Sebuah pendekatan canggih dari green finance yang tidak hanya menyalurkan modal ke proyek ramah lingkungan, tetapi juga mempertahankan standar kinerja keuangan yang tinggi.


Dulu dianggap sebagai minat eksklusif investor idealis, kini green finance telah menjadi strategi utama bagi dana kekayaan negara, manajer aset institusional, dan korporasi multinasional. Perubahan ini menunjukkan satu fakta penting: keberlanjutan lingkungan kini berkaitan langsung dengan profitabilitas jangka panjang dan stabilitas sistem keuangan global.


Obligasi Hijau: Dari Pinggiran Menuju Arus Utama


Pasar obligasi hijau telah berkembang pesat dan menjadi pilar utama dalam keuangan berkelanjutan. Berdasarkan data dari Climate Bonds Initiative, penerbitan obligasi hijau secara global melampaui angka $1,4 triliun pada 2024 lonjakan lima kali lipat sejak 2018. Peningkatan ini tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi juga kualitas, melalui verifikasi independen yang lebih baik, transparansi yang lebih tinggi, dan pelaporan dampak yang lebih komprehensif.


Pemerintah berbagai negara juga memanfaatkan utang hijau untuk mendanai infrastruktur ramah lingkungan. Uni Eropa, misalnya, meluncurkan program obligasi hijau sebesar €250 miliar sebagai bagian dari rencana pemulihan NextGenerationEU. Negara berkembang seperti Brasil, India, dan Indonesia juga ikut menerbitkan obligasi hijau untuk mendanai transisi energi, transportasi berkelanjutan, dan pengelolaan limbah.


Sektor swasta pun tak ketinggalan. Perusahaan kini menerbitkan obligasi yang terikat pada kinerja keberlanjutan (sustainability-linked bonds/SLB), di mana tingkat bunga tergantung pada pencapaian indikator ESG seperti intensitas emisi karbon atau penggunaan energi terbarukan. Contoh nyata adalah Enel S.p.A, yang pada 2024 menerbitkan SLB senilai €3,5 miliar dengan bunga yang disesuaikan berdasarkan pencapaian target pengurangan emisi.


AI, Big Data, dan ESG 2.0: Era Baru Penilaian Berkelanjutan


Memasuki era digital, integrasi kecerdasan buatan dan machine learning telah merevolusi cara evaluasi ESG (Environmental, Social, Governance) dilakukan. Perusahaan seperti MSCI ESG Research dan Arabesque S-Ray menggunakan natural language processing (NLP) untuk menganalisis laporan perusahaan, sentimen media, serta data alternatif secara real time. Hasilnya adalah peringkat keberlanjutan yang lebih akurat dan terkini.


Selain itu, pemodelan skenario iklim kini menjadi alat standar bagi investor institusional. Platform seperti Climate MAPS dari Ortec Finance memberikan proyeksi probabilistik terhadap dampak iklim, membantu penyusunan alokasi portofolio yang sesuai dengan jalur pemanasan global berdasarkan skenario IPCC.


Menurut Dr. Tensie Whelan, Direktur NYU Stern’s Center for Sustainable Business, “Data ESG yang canggih mampu mengubah keberlanjutan dari sekadar nilai moral menjadi pendorong kinerja finansial yang nyata.”


Uji Ketahanan Iklim dan Ketangguhan Sistem Keuangan


Bank sentral dan regulator keuangan kini mengakui bahwa perubahan iklim adalah risiko sistemik bagi sektor keuangan. Network for Greening the Financial System (NGFS) yang terdiri dari lebih dari 140 institusi keuangan, telah mengembangkan kerangka uji ketahanan yang mengintegrasikan risiko fisik dan transisi ke dalam pengawasan perbankan.


Bank of England, dalam latihan eksploratif dua tahunan 2025, menilai kinerja bank dan perusahaan asuransi di bawah berbagai skenario iklim, termasuk transisi lambat dan target net-zero. Hasil dari uji tersebut digunakan untuk menyesuaikan persyaratan modal dan penilaian risiko bagi lembaga keuangan yang memiliki eksposur tinggi terhadap aset berbasis karbon.


Sementara itu, Bank Sentral Eropa (ECB) mewajibkan bank-bank besar di zona euro untuk melaporkan emisi yang mereka biayai dan memastikan portofolio pembiayaan mereka sejalan dengan target pemanasan global 1,5°C sesuai kerangka taksonomi Uni Eropa.


Private Equity dan Lonjakan Investasi Teknologi Karbon


Peran modal swasta dalam mendorong green finance juga semakin mencolok. Pada 2025, investasi teknologi bersih oleh firma private equity dan modal ventura mencapai rekor $73 miliar, naik 24% dari tahun sebelumnya. Investasi ini mencakup bidang seperti hidrogen hijau, reaktor nuklir modular, penangkapan karbon biogenik, dan baterai generasi baru.


Firma seperti Breakthrough Energy Ventures dan World Fund mengucurkan dana ke startup berbasis teknologi mendalam yang berpotensi besar mengurangi emisi. Banyak dari startup ini mengandalkan skema blended finance, struktur pembiayaan campuran antara publik dan swasta, untuk menanggung risiko awal pengembangan.


Selain itu, pertumbuhan fintech iklim, startup yang mengembangkan platform digital untuk pelaporan karbon, integrasi ESG, dan penilaian risiko iklim, semakin menarik perhatian investor institusi yang ingin memperkuat infrastruktur keberlanjutannya.


Investor Institusi Beralih dari Divestasi ke Keterlibatan Aktif


Strategi divestasi dari energi fosil masih dilakukan, namun banyak investor besar kini memilih pendekatan lebih strategis: keterlibatan aktif. Alih-alih menarik modal sepenuhnya, mereka seperti Dana Pensiun Pemerintah Norwegia dan CalPERS menggunakan kekuatan sebagai pemegang saham untuk mendorong tata kelola iklim yang lebih baik dan rencana transisi net-zero.


Inisiatif Climate Action 100+, yang mewakili lebih dari $68 triliun aset, telah berhasil mendorong perubahan signifikan di perusahaan besar seperti ExxonMobil dan ArcelorMittal. Pendekatan ini berfokus pada transformasi dari dalam, bukan sekadar menghindar dari masalah.


Seiring percepatan transisi menuju ekonomi rendah karbon, konsep “green alpha” mulai menggantikan pandangan lama bahwa ESG adalah strategi kompromi. Riset Goldman Sachs menunjukkan bahwa perusahaan dengan skor ESG tinggi mampu mengungguli tolok ukur dalam hal imbal hasil disesuaikan risiko, khususnya di sektor yang rentan terhadap gangguan iklim.


simak video "green financing"

video by "Katadata Indonesia"