Dulu, dinding penuh coretan warna-warni mungkin hanya dianggap sebagai tindakan vandalisme. Tidak sedikit yang hanya melirik sekilas, lalu menggeleng. Kini? Karya dengan gaya serupa justru bisa terjual ratusan juta rupiah di pameran seni bergengsi di Miami.


Bagaimana bisa grafiti berubah dari aksi jalanan penuh perlawanan menjadi bahan obrolan kalangan elit seni? Inilah kisah mengejutkan tentang evolusi seni grafiti, dan bagaimana kehadirannya mengguncang dunia seni serta memaksa kita bertanya ulang: apa sebenarnya arti “seni yang sesungguhnya”?


Akar Grafiti: Suara dari Pinggiran Kota


Grafiti lahir bukan untuk sekadar memamerkan warna. Di tahun 1970-an, grafiti berkembang pesat di New York, terutama di kalangan anak muda. Mereka mulai menandai gerbong kereta bawah tanah dan tembok gedung dengan nama samaran dan simbol unik. Tujuannya bukan mencari uang, melainkan ingin dilihat dan diakui.


- Ekspresi Tanpa Izin: Para seniman grafiti menggunakan ruang publik karena mereka tidak punya akses ke galeri seni konvensional.


- Protes Sosial: Banyak karya menyampaikan kritik tajam terhadap ketimpangan dan ketidakadilan.


- Pernyataan Identitas: Di lingkungan yang kerap diabaikan, grafiti menjadi cara untuk mengatakan, "Saya ada di sini."


Meski berisiko ditangkap, para kreator tetap berkarya dengan berani. Semakin ditekan, justru semakin berkembang.


Perubahan Besar: Saat Dunia Seni Melirik Jalanan


Lompatan besar terjadi di era 2000-an. Tiba-tiba, nama-nama seperti Banksy dan Jean-Michel Basquiat mendominasi perhatian dunia.


- Fenomena Banksy: Melalui stencil yang penuh sindiran cerdas, Banksy merobohkan tembok antara jalanan dan galeri. Bahkan salah satu karyanya sempat ‘menghancurkan diri sendiri’ saat dilelang, dan tetap laku mahal.


- Warisan Basquiat: Berawal dari tulisan-tulisan puitis di tembok kota, Basquiat menjelma menjadi ikon budaya dengan karya yang kini terpajang di museum ternama.


Para seniman grafiti mulai diundang ke pameran seni. Rumah lelang memajang karya mereka. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar apresiasi, tetapi penjinakan terhadap budaya liar jalanan.


Pro dan Kontra: Evolusi atau Pengkhianatan?


Namun tidak semua pihak bersorak. Banyak yang merasa bahwa ketika grafiti masuk ke galeri, ia kehilangan ruhnya. Jika sudah dibingkai, dikurasi, dan diperjualbelikan, apakah itu masih bisa disebut grafiti?


1. Hilangnya Aksesibilitas


Dulu grafiti bisa dinikmati siapa saja, gratis, kapan pun. Kini hanya segelintir orang yang bisa melihat, dan lebih sedikit lagi yang mampu membelinya.


2. Gaya yang Diambil, Kreator yang Tertinggal?


Ada yang menyoroti bahwa keuntungan justru dinikmati oleh pihak luar, sementara komunitas yang dulu membesarkan seni ini tak selalu mendapat pengakuan.


3. Media yang Berubah, Rasa yang Berkurang


Ketika grafiti dipindahkan dari dinding ke kanvas, skala dan konteks lokasi ikut hilang. Terkadang, rasa spontan dan pesan pemberontakan ikut menguap.


Dari Sudut Pandang Seniman: Jalan Baru Menuju Pengakuan


Meski menuai kritik, banyak seniman justru menyambut perubahan ini sebagai bentuk perkembangan, bukan pengkhianatan.


Akses ke Alat dan Ruang Lebih Baik


Di studio, seniman bisa menggunakan cat berkualitas tinggi dan bekerja lebih aman. Ini memberi ruang untuk eksplorasi gaya yang lebih kompleks.


Pengakuan dan Penghasilan Layak


Bertahun-tahun berkarya tanpa nama, kini banyak seniman mulai dihargai dan mendapat kompensasi yang sepadan.


Media Boleh Berubah, Pesan Tetap Sama


Bagi banyak seniman, tujuan mereka tetap: menyuarakan isu sosial. Bedanya, kini mereka melakukannya di panggung yang lebih besar.


Salah satu contoh adalah RETNA, yang memadukan kaligrafi kontemporer dalam karya jalanan dan kolaborasi eksklusif, tanpa melepaskan pesan budaya dan perjuangan.


Mau Ke Mana Arah Grafiti?


Grafiti hari ini telah bercabang ke berbagai jalur:


- Mural raksasa hasil kerja sama dengan pemerintah kota


- Tembok legal yang jadi destinasi wisata


- NFT dan karya digital bergaya grafiti yang merambah dunia maya


Meski begitu, sebagian seniman tetap memilih atap gedung dan gerbong kereta sebagai ruang berekspresi, menjaga semangat liar tetap menyala.


Jadi, apakah grafiti yang dipamerkan di galeri adalah bentuk pengkhianatan atau justru kemenangan? Mungkin jawabannya: keduanya. Seperti halnya seni lain, grafiti terus berkembang, beradaptasi, bahkan bertentangan dengan akarnya.