Pernahkah Anda merasa, “Kenapa saya selalu jadi yang mengalah atau yang paling banyak membantu, tapi orang lain tidak pernah terlihat berbuat sama?” Mungkin ulang tahun terlupakan lagi, atau setiap kali selesai makan, Anda selalu jadi yang mencuci piring.
Rasanya memang tidak adil. Namun karena ini keluarga, sering kali perasaan itu disimpan rapat-rapat. Tapi, apakah memang benar harus selalu dibiarkan begitu saja? Mari kita ulas bersama.
Mengapa Sering Kali Mulai “Menghitung Skor”?
Sejak kecil, kita biasanya berbagi dengan mudah tanpa perlu hitung-hitungan. Bermain bersama, bertukar makanan, atau membantu tanpa pamrih menjadi hal yang alami. Namun, seiring bertambahnya usia, ekspektasi pun ikut meningkat. Lambat laun, mulai muncul rasa bahwa beban tidak terbagi merata. Ada yang selalu memberi, tapi ada juga yang cenderung mengambil lebih banyak. Perasaan seperti ini bukan berarti seseorang menjadi egois, melainkan tanda bahwa jiwa manusia secara alami mencari keseimbangan dan keadilan.
Bukan Sekadar Soal Barang atau Tugas Rumah
Yang sebenarnya “dihitung” bukan cuma soal uang, pekerjaan rumah, atau barang. Namun lebih pada perhatian, dukungan emosional, dan rasa adil. Contohnya, saat seseorang di keluarga mendapat pujian untuk sesuatu yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang lain lebih dulu. Atau ketika pendapat satu anak lebih didengar dibandingkan yang lain. Hal-hal kecil seperti ini sering terlupakan tapi terus menumpuk di hati. Dan ketika sudah menumpuk, beban itu bisa terasa sangat berat.
Menjaga Batasan Bukan Berarti Dingin
Penting untuk dipahami, menjaga batasan dalam keluarga bukan berarti menjadi dingin atau tidak peduli. Tidak ada yang mengharuskan menghitung setiap kebaikan secara kaku. Namun, menetapkan batas emosional membantu menjaga kesehatan mental. Misalnya, jika ada anggota keluarga yang sering meminjam uang tapi tidak pernah mengembalikannya, menyampaikan keberatan bukan soal “menghitung skor,” melainkan tindakan yang bertanggung jawab.
Resentimen yang Tak Diungkapkan Bisa Merusak Hubungan
Banyak yang memilih menyimpan perasaan tidak puas untuk menghindari konflik. Namun, menahan perasaan ini justru bisa menjadi bumerang. Rasa kecewa yang dipendam bisa berubah menjadi sikap dingin, sindiran, atau bahkan menjauh dari keluarga. Ironisnya, upaya untuk menjaga kedamaian malah berujung pada keretakan hubungan. Itulah mengapa komunikasi terbuka dan jujur sangat penting, terutama dalam lingkungan keluarga yang paling dekat.
Kebaikan dan Kasih Sayang Tetap Prioritas
Ingatlah, keluarga bukanlah kontrak bisnis yang harus selalu seimbang hitungannya. Kadang Anda memberi lebih, kadang pihak lain yang mengambil peran lebih banyak. Tujuan utama bukan soal angka, melainkan saling pengertian. Dengan berbicara terbuka, saling memaafkan, dan melakukan hal-hal kecil yang menunjukkan kepedulian, hubungan keluarga akan jauh lebih kuat tanpa perlu “skor” yang menghitung siapa memberi dan siapa menerima.
Waktunya Jujur dan Terbuka
Pertanyaannya sekarang, pernahkah Anda merasa terlalu banyak memberi tanpa mendapat timbal balik yang sepadan? Atau justru menyadari bahwa ada anggota keluarga yang diam-diam sudah mengambil beban lebih berat? Semua perasaan itu valid dan pantas mendapat ruang untuk diungkapkan. Menyampaikan kebutuhan dengan cara yang baik bukanlah tanda dingin, melainkan bentuk keadilan, bagi diri sendiri dan bagi keluarga.
Pada akhirnya, hidup dalam keluarga adalah perjalanan panjang penuh cinta, kesabaran, dan pembelajaran. Tidak akan selalu sempurna. Namun dengan sikap saling menghormati dan kejujuran tanpa harus mengandalkan “buku hitungan,” perlahan akan terbentuk keseimbangan yang terasa nyaman untuk semua pihak. Dan inilah keadilan sejati yang bisa membuat keluarga terus tumbuh dan berkembang.
Bagaimana pendapat Anda setelah membaca ini? Apakah ada pengalaman pribadi yang membuat Anda merasa perlu “menghitung skor” dalam keluarga? Atau mungkin Anda sudah menemukan cara yang lebih sehat untuk menghadapi ketidakseimbangan? Silakan berbagi, karena topik ini memang penting dan sering terlupakan.