Dua penyakit yang kerap membuat masyarakat kebingungan adalah demam berdarah dengue (DBD) dan chikungunya. Keduanya disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, dan sering kali membuat masyarakat bingung dalam membedakan keduanya.


Namun, walau terlihat serupa di permukaan, dengue dan chikungunya berasal dari keluarga virus yang berbeda dan memiliki mekanisme infeksi serta dampak klinis yang tidak sama.


Dengue merupakan anggota dari keluarga Flaviviridae, sementara chikungunya tergolong dalam Togaviridae dan termasuk dalam genus Alphavirus. Meski secara struktur dan taksonomi berbeda, kedua virus ini sering menyebar bersamaan di wilayah endemik, memunculkan tantangan serius dalam proses diagnosis.


Mekanisme Infeksi yang Berbeda di Dalam Tubuh


Secara molekuler, dengue dan chikungunya memiliki cara berbeda untuk mereplikasi diri di dalam sel manusia. Virus dengue masuk ke dalam sel melalui jalur clathrin-mediated endocytosis, lalu memicu stres pada retikulum endoplasma untuk mempercepat replikasi RNA. Sebaliknya, chikungunya mengandalkan fusi cepat dengan endosom awal, dan segera memulai proses translasi protein melalui RNA subgenomiknya.


Menurut ahli virologi Dr. Eva Harris, "Kecepatan replikasi awal CHIKV yang berbeda dari DENV menjelaskan gejala yang muncul lebih tiba-tiba pada chikungunya dibandingkan dengue."


Gejala Klinis: Sekilas Sama, Tapi Ada Perbedaan Mendasar


Baik dengue maupun chikungunya memulai serangannya dengan demam tinggi, nyeri otot hebat, dan kelelahan ekstrem. Namun jika diamati lebih lanjut, terdapat perbedaan mencolok:


- Dengue biasanya ditandai dengan penurunan jumlah trombosit, rasa sakit di belakang bola mata, dan munculnya ruam kulit. Jika memburuk, dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah yang berisiko tinggi.


- Chikungunya meski jarang menyebabkan komplikasi serius, dikenal karena nyeri sendi yang bisa bertahan lama bahkan berbulan-bulan. Nyeri ini umumnya simetris dan terasa seperti radang sendi.


Tantangan Diagnostik: Ketepatan Waktu Adalah Kunci


Karena kesamaan gejala awal, diagnosis laboratorium menjadi sangat penting. Pada fase akut, tes PCR adalah metode utama untuk membedakan kedua virus ini. Untuk dengue, tes antigen NS1 sering digunakan dalam lima hari pertama demam, sedangkan tes IgM/IgG digunakan pada tahap pemulihan. Sementara itu, chikungunya didiagnosis dengan RT-PCR atau ELISA IgM.


Namun, adanya kemungkinan reaktivitas silang di wilayah endemik flavivirus, seperti pada dengue, seringkali menyulitkan diagnosis yang akurat. Oleh karena itu, Dr. Amadou Sall menyarankan penggunaan panel PCR multipel, terutama dalam situasi wabah, agar deteksi virus menjadi lebih spesifik dan cepat.


Tren Penyebaran dan Risiko Infeksi Ganda


Kedua virus ini kini banyak ditemukan di kawasan tropis dan subtropis, serta sering menyebar bersamaan. Penyebaran ganda bisa memperparah respons imun tubuh dan meningkatkan risiko komplikasi. Faktor seperti urbanisasi, perubahan iklim, dan kendala dalam pengendalian nyamuk turut mempengaruhi penyebaran penyakit ini.


Studi awal menunjukkan bahwa infeksi ganda dapat memicu respons peradangan yang lebih parah, meskipun mekanismenya masih diteliti lebih lanjut.


Pengobatan: Fokus Pada Meredakan Gejala


Belum ada obat khusus yang bisa membunuh virus dengue maupun chikungunya secara langsung. Pengobatan masih bersifat suportif, yaitu menjaga cairan tubuh, mengontrol suhu badan, dan mengurangi nyeri. Pada kasus dengue, penggunaan obat seperti aspirin dan OAINS sangat tidak disarankan karena bisa meningkatkan risiko perdarahan.


Sedangkan pada chikungunya, nyeri sendi kronis bisa diatasi dengan terapi jangka pendek menggunakan obat antiradang seperti kortikosteroid. Namun, penggunaannya harus diawasi tenaga medis karena dapat berdampak pada daya tahan tubuh.


Perkembangan Vaksin: Harapan di Tengah Tantangan


Untuk dengue, vaksin Dengvaxia sudah tersedia di beberapa negara, namun hanya efektif pada individu yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi. Jika diberikan kepada orang yang belum pernah terpapar dengue, bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan.


Sementara itu, untuk chikungunya, beberapa kandidat vaksin seperti VLA1553 dan CHIKV-VLP telah mencapai tahap uji klinis akhir per 2025. Ini menjadi harapan besar dalam pencegahan di masa depan.


Meskipun kerap disalahartikan, dengue dan chikungunya memiliki perbedaan signifikan dalam mekanisme biologis, gejala, diagnosis, hingga penanganan. Memahami perbedaan ini sangat penting, bukan hanya untuk pemulihan pasien, tetapi juga dalam merancang strategi kesehatan masyarakat dan mencegah wabah di masa mendatang. Dengan meningkatnya kemampuan diagnostik, pemantauan berbasis wilayah, serta dukungan terhadap inovasi vaksin, harapan untuk menekan dampak kedua penyakit ini kian terbuka lebar. Tetap waspada terhadap gigitan nyamuk dan segera periksa ke fasilitas kesehatan bila mengalami gejala mencurigakan adalah langkah awal yang krusial.