Dalam dunia medis, khususnya neurologi klinis dan pengobatan akut, membedakan antara delirium dan demensia bukanlah sekadar detail kecil. Perbedaan ini sangat penting dan dapat menentukan arah pengobatan serta nasib pasien.
Dua kondisi ini memiliki perbedaan mendasar dalam penyebab, waktu munculnya gejala, pola perkembangan, dan respons terhadap terapi. Salah diagnosis atau keterlambatan dalam mengenali kondisi yang sebenarnya dapat menyebabkan komplikasi serius, keterlambatan penanganan, hingga penurunan fungsi kognitif yang lebih parah.
Menurut pakar neurologi terkemuka, Dr. Sharon K. Inouye, “Delirium adalah kondisi medis darurat, bukan proses alami penuaan.” Pernyataan ini menegaskan pentingnya pengenalan dini dan penanganan segera saat muncul perubahan mendadak dalam fungsi kognitif.
Perbedaan Waktu Muncul: Jam vs Tahun
Salah satu perbedaan paling penting terletak pada kecepatan munculnya gejala. Delirium biasanya muncul dalam hitungan jam hingga beberapa hari, sering kali sebagai reaksi terhadap kondisi medis akut seperti infeksi, efek samping obat, gangguan metabolik, atau pasca tindakan medis tertentu. Gejala khasnya adalah perubahan drastis dalam kesadaran dan perhatian yang dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, demensia berkembang perlahan dan bertahap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Penurunan fungsi kognitif terjadi secara progresif, mencakup daya ingat, kemampuan berpikir logis, orientasi ruang, hingga kemampuan berbahasa. Beberapa jenis yang umum termasuk penyakit Alzheimer, demensia vaskular, dan demensia dengan badan Lewy.
Pola Gangguan Kognitif: Gangguan Perhatian vs Masalah Memori
Delirium ditandai oleh gangguan berat dalam fokus dan kesadaran. Penderita sering kali tampak bingung, tidak mampu berkonsentrasi, bahkan dapat mengalami halusinasi, terutama pada tipe hiperaktif. Gejala ini bisa datang dan pergi dalam waktu singkat, bahkan dalam satu hari yang sama.
Sementara itu, demensia pada tahap awal biasanya tidak disertai gangguan perhatian. Yang lebih dominan adalah masalah memori jangka pendek, kesulitan menemukan kata, serta penurunan kemampuan menyelesaikan masalah. Seiring waktu, perhatian dan kewaspadaan juga dapat menurun, tetapi secara perlahan dan tidak menunjukkan fluktuasi yang cepat seperti pada delirium.
Perilaku dan Gerakan: Labil vs Stabil
Delirium dapat tampil dalam tiga bentuk utama: hiperaktif, hipoaktif, atau campuran. Pada tipe hiperaktif, pasien tampak gelisah, sulit dikendalikan, bahkan bisa mencopot infus atau berusaha meninggalkan tempat tidur. Sementara itu, delirium tipe hipoaktif jauh lebih sulit dikenali karena ditandai dengan kelesuan dan kurangnya respons terhadap lingkungan, dan sering salah dikira sebagai depresi.
Demensia lebih cenderung menunjukkan perubahan perilaku yang stabil dan bertahap. Pasien bisa menjadi lebih pendiam, kehilangan minat terhadap aktivitas sebelumnya, atau menunjukkan perubahan suasana hati yang bertahan lama. Tidak seperti delirium, gejala ini tidak berubah-ubah secara drastis dari waktu ke waktu.
Alat Diagnostik: Menentukan dengan Presisi
Dalam praktik klinis, tenaga medis menggunakan alat diagnostik khusus untuk membedakan kedua kondisi ini. Untuk mendeteksi delirium, metode yang paling banyak digunakan adalah Confusion Assessment Method (CAM), sedangkan untuk skrining demensia digunakan alat seperti Montreal Cognitive Assessment (MoCA) atau Mini-Mental State Examination (MMSE).
Pemeriksaan pencitraan otak seperti MRI umumnya tidak berguna dalam mendeteksi delirium, kecuali jika ada dugaan kerusakan otak seperti perdarahan. Sebaliknya, dalam demensia, MRI dapat memperlihatkan pola pengecilan otak yang khas. PET scan juga mulai digunakan untuk mendeteksi akumulasi protein tertentu yang terkait dengan Alzheimer.
Pemeriksaan EEG bisa membantu diagnosis, di mana delirium biasanya memperlihatkan perlambatan aktivitas otak secara umum, sementara pada demensia dini, hasil EEG bisa tampak normal.
Petunjuk dari Pemeriksaan Laboratorium dan Biomarker
Kemajuan dalam penelitian biomarker memberikan cara tambahan untuk membedakan kedua kondisi. Pada delirium, sering ditemukan peningkatan penanda inflamasi seperti CRP dan IL-6. Meskipun tidak spesifik, temuan ini bisa mendukung diagnosis.
Untuk demensia, analisis cairan otak (CSF) dapat menunjukkan kadar beta-amiloid yang rendah dan peningkatan protein tau, khususnya pada penyakit Alzheimer. Meski belum digunakan secara luas dalam praktik harian, metode ini memiliki potensi besar dalam diagnosis spesifik.
Strategi Pengobatan: Bisa Sembuh vs Pengelolaan Jangka Panjang
Delirium dapat disembuhkan sepenuhnya apabila penyebab utamanya ditangani segera. Penatalaksanaan mencakup koreksi gangguan metabolik, pengurangan obat-obatan yang tidak perlu, manajemen nyeri, serta pemberian alat bantu seperti kacamata atau alat bantu dengar. Faktor lingkungan juga berperan penting: pencahayaan yang cukup, kehadiran jam dinding, dan kehadiran orang-orang yang dikenal dapat mempercepat pemulihan.
Demensia, di sisi lain, merupakan kondisi kronis yang progresif. Pengobatannya bersifat suportif dan bertujuan memperlambat penurunan fungsi. Obat-obatan seperti penghambat kolinesterase (donepezil, rivastigmin) atau antagonis reseptor NMDA (memantin) digunakan untuk memperlambat penurunan kognitif. Intervensi non-obat seperti terapi kognitif, rutinitas harian yang terstruktur, dan dukungan sosial sangat penting untuk menjaga kualitas hidup pasien.
Prognosis: Peluang Pulih vs Penurunan Bertahap
Dengan penanganan yang tepat dan cepat, delirium memiliki peluang besar untuk sembuh total. Namun, bila berlangsung lama, terutama pada lansia, risiko penurunan kognitif jangka panjang meningkat.
Demensia, sayangnya, bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan. Meski demikian, deteksi dini tetap sangat penting agar dapat dilakukan perencanaan perawatan jangka panjang dan alokasi sumber daya yang tepat.
Memahami perbedaan mendalam antara delirium dan demensia sangat penting bagi para tenaga kesehatan. Meskipun keduanya bisa terjadi bersamaan, strategi diagnosis dan penanganannya sangat berbeda. Mengintegrasikan alat skrining kognitif, observasi terus-menerus, dan kemajuan dalam biomarker dapat meningkatkan akurasi diagnosis dan memperbaiki hasil pasien. Dalam praktik klinis, kecepatan dan ketepatan respon bisa menjadi penentu antara pemulihan dan penurunan permanen.