Dalam beberapa bulan terakhir, perhatian dunia kembali tertuju pada penyakit cacar monyet, sebuah infeksi virus zoonosis yang sebelumnya hanya terbatas di wilayah-wilayah tertentu di Afrika. Kini, penyakit ini telah melampaui zona endemik tradisionalnya dan menjadi kekhawatiran medis internasional yang memerlukan perhatian serius.


Meski pemberitaan media cenderung menyederhanakan persoalan ini menjadi judul-judul sensasional, kenyataannya cacar monyet memiliki kompleksitas klinis dan epidemiologis yang jauh lebih dalam, dan memerlukan pemahaman menyeluruh agar strategi kesehatan masyarakat dan perawatan pasien dapat lebih tepat sasaran.


Memahami Virus Cacar Monyet: Dari Struktur hingga Pola Penularan


Cacar monyet merupakan virus DNA untai ganda yang termasuk dalam keluarga Orthopoxvirus, dan memiliki hubungan dekat dengan virus penyebab cacar. Terdapat dua varian genetik utama dari virus ini, yaitu clade Afrika Barat (yang biasanya menyebabkan gejala ringan dengan tingkat kematian sekitar 1%) dan clade Lembah Kongo (yang lebih berat dan bisa mencapai tingkat kematian hingga 10%).


Penularan virus ini umumnya terjadi melalui kontak langsung dengan lesi kulit penderita, cairan tubuh, percikan droplet dari saluran napas saat kontak erat berkepanjangan, atau melalui benda-benda yang terkontaminasi seperti pakaian dan sprei. Yang menarik, penyebaran antar manusia di luar wilayah endemik kini semakin meningkat. Hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam pola epidemiologi yang membutuhkan penyesuaian strategi pengendalian dan pengawasan.


Menurut Dr. David Heymann, pakar penyakit infeksi dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, "Mempelajari pola penularan terbaru sangat penting untuk memperbarui protokol pengendalian seiring perubahan dinamika penyebaran."


Gejala Klinis: Dari yang Klasik hingga yang Tak Biasa


Tenaga medis perlu mewaspadai gejala-gejala cacar monyet yang kini semakin beragam. Gejala klasik biasanya dimulai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, pembengkakan kelenjar getah bening, dan rasa lelah, diikuti oleh ruam kulit khas yang menyebar dari wajah ke seluruh tubuh, dengan tahapan perubahan mulai dari makula, papula, vesikel, pustula, hingga akhirnya mengeras dan mengelupas.


Namun, laporan terbaru dari CDC menunjukkan adanya gejala-gejala atipikal seperti:


- Luka terbatas di area genital atau anus tanpa ruam menyebar


- Beberapa pasien tidak mengalami gejala awal (prodromal)


- Infeksi mukosa yang menyebabkan sakit tenggorokan berat atau peradangan rektum (proktitis)


Diagnostik Modern: Dari PCR hingga Pendekatan Multisistem


Diagnosis laboratorium tetap menjadi kunci dalam memastikan infeksi cacar monyet. Pengujian PCR (polymerase chain reaction) terhadap lesi kulit merupakan metode utama karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang tinggi. Kini, telah tersedia panel PCR multiplex yang memungkinkan deteksi berbagai jenis orthopoxvirus secara bersamaan, mempercepat identifikasi saat terjadi lonjakan kasus.


Sementara itu, uji serologi masih berguna untuk studi epidemiologi, meskipun memiliki keterbatasan dalam mendiagnosis infeksi akut karena bisa menunjukkan hasil positif palsu akibat vaksinasi cacar sebelumnya. Teknik pencitraan medis seperti CT scan atau USG umumnya tidak digunakan untuk diagnosis, namun bisa membantu menilai komplikasi seperti infeksi bakteri sekunder atau pembesaran kelenjar getah bening.


Perawatan dan Pengobatan: Pilihan yang Tersedia dan Harapan Baru


Sebagian besar kasus cacar monyet bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri, namun pasien dengan kondisi berat atau kelompok berisiko tinggi, seperti mereka yang memiliki sistem imun lemah, memerlukan perawatan lebih lanjut. Beberapa obat yang awalnya dikembangkan untuk cacar kini digunakan sebagai terapi:


- Tecovirimat (TPOXX): Merupakan antivirus yang sudah disetujui FDA untuk pengobatan infeksi orthopoxvirus. Obat ini bekerja menghambat protein pembungkus virus sehingga mempercepat penyembuhan.


- Cidofovir dan Brincidofovir: Merupakan analog nukleosida yang digunakan sebagai pilihan kedua karena efek sampingnya seperti gangguan fungsi ginjal, namun tetap bermanfaat dalam kasus berat.


Perawatan pendukung tetap menjadi kunci, seperti menjaga hidrasi tubuh, mengelola gejala, dan mencegah infeksi tambahan. Dr. Anne Rimoin dari UCLA menyatakan, "Akses yang lebih luas terhadap tecovirimat di wilayah terdampak sangat penting untuk menekan penyebaran dan memperbaiki hasil perawatan pasien."


Vaksinasi: Perlindungan Lama dengan Pendekatan Baru


Meskipun cacar telah dinyatakan punah sejak lama, vaksin cacar tetap memberikan perlindungan terhadap monkeypox karena adanya kekebalan silang. Vaksin generasi terbaru seperti JYNNEOS (juga dikenal sebagai Imvamune atau Imvanex) merupakan vaksin non-replikasi berbasis virus vaccinia modifikasi (MVA) yang dinilai lebih aman, terutama untuk orang dengan sistem imun lemah.


Pendekatan vaksinasi cincin yaitu memberikan vaksin kepada kontak erat dan kelompok berisiko tinggi, masih menjadi metode utama pengendalian wabah. Saat ini, para peneliti tengah mempelajari berapa lama kekebalan dari vaksin ini bisa bertahan serta efektivitasnya terhadap berbagai varian virus monkeypox.


Tantangan Kesehatan Masyarakat dan Langkah ke Depan


Wabah cacar monyet saat ini menyoroti adanya celah besar dalam kesiapan global menghadapi penyakit infeksi yang berasal dari hewan. Diperlukan peningkatan kemampuan laboratorium, pelacakan kontak yang lebih efektif, serta distribusi vaksin yang merata.


Lebih dari itu, faktor lingkungan dan perilaku manusia yang mempengaruhi terjadinya “spillover” dari hewan ke manusia memerlukan riset mendalam. Pendekatan kolaboratif lintas sektor, antara dokter hewan, ahli lingkungan, dan ahli epidemiologi, melalui konsep One Health, akan menjadi kunci dalam mendeteksi dan mencegah wabah di masa depan.


Menghadapi kenyataan baru ini, para tenaga kesehatan dituntut untuk tidak hanya mengandalkan pemberitaan, tetapi juga menggali informasi berbasis bukti tentang virologi, gejala klinis, teknik diagnostik, dan terapi untuk menghadapi cacar monyet secara efektif. Pemahaman yang komprehensif akan menjadi landasan dalam upaya menekan penyebaran virus dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.