Anemia kronis bukan sekadar hasil tes laboratorium yang menunjukkan angka hemoglobin rendah. Kondisi ini adalah masalah kesehatan yang berkelanjutan dan membawa dampak luas bagi fungsi tubuh. Secara medis, anemia didiagnosis ketika kadar hemoglobin menurun di bawah batas normal, biasanya kurang dari 13 g/dL untuk pria dan 12 g/dL untuk wanita.
Namun, anemia kronis adalah keadaan yang berlangsung lama dengan kadar hemoglobin yang terus-menerus rendah, sering kali disebabkan oleh penyakit mendasar seperti gagal ginjal kronis, gangguan autoimun, atau kanker darah.
Dr. Amy Berson, ahli hematologi di Mayo Clinic, menjelaskan, “Anemia kronis hampir selalu merupakan tanda dari kondisi medis yang lebih luas. Kondisi ini jarang berdiri sendiri dan sering kali menunjukkan adanya peradangan kronis, gangguan penyerapan nutrisi, atau penekanan sumsum tulang."
Kekurangan Oksigen Seluler dan Dampak Sistemik
Sel darah merah adalah pengangkut utama oksigen ke seluruh tubuh. Ketika jumlah atau kandungan hemoglobin dalam sel darah merah berkurang dalam jangka panjang, proses respirasi sel di berbagai jaringan akan terganggu. Kondisi hipoksia ini tidak hanya menimbulkan satu gejala saja, melainkan berujung pada gangguan fungsi multi sistem, mulai dari penurunan fungsi kognitif hingga tekanan berlebih pada jantung.
Rasa lelah menjadi keluhan utama yang paling sering dilaporkan, namun sering disalahartikan. Pada anemia kronis, kelelahan ini bukan karena otot terlalu banyak digunakan, melainkan karena mitokondria, pembangkit energi sel, kekurangan oksigen sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan energi dasar tubuh. Selain itu, pasien bisa merasakan pusing saat berdiri tiba-tiba, sesak napas saat beraktivitas, jantung berdebar, dan mudah merasa kedinginan.
Dampak pada Fungsi Otak dan Saraf
Dampak anemia kronis pada fungsi saraf dan otak semakin banyak diteliti. Kekurangan oksigen yang berlangsung lama dikaitkan dengan penurunan kemampuan kognitif, terutama pada orang lanjut usia. Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Journal of Clinical Investigation pada tahun 2023 menunjukkan bahwa hipoksia berkepanjangan dapat menurunkan plastisitas sinaps di hippocampus, bagian otak yang penting untuk memori jangka pendek dan proses belajar.
Pada anak-anak, anemia kronis, khususnya yang disebabkan oleh kekurangan zat besi, berhubungan dengan keterlambatan perkembangan psikomotor, gangguan perhatian, dan prestasi akademik yang menurun. Kondisi ini menegaskan pentingnya evaluasi dan penanganan anemia sejak dini untuk mencegah dampak jangka panjang pada perkembangan anak.
Batasan Fisik dan Beban Psikososial
Pasien dengan anemia kronis sering melaporkan penurunan stamina fisik yang signifikan. Aktivitas ringan sekalipun dapat menimbulkan kelelahan berlebihan. Hal ini bisa menurunkan kinerja kerja dan membatasi aktivitas sehari-hari. Dalam kasus yang parah, pasien cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan berisiko mengalami depresi.
Studi jangka panjang dari Johns Hopkins University (2022) mengungkap bahwa penderita anemia kronis yang tidak mendapatkan penanganan dua kali lebih mungkin mengalami penyesuaian tugas kerja atau pengurangan jam kerja, terutama pada pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik. Selain itu, kelelahan yang berkelanjutan dan gangguan konsentrasi juga dapat mengganggu hubungan pribadi dan kemandirian. Pada lansia, kondisi ini sering membuat mereka semakin bergantung pada bantuan orang lain sehingga kualitas hidup menurun.
Tantangan Diagnosis dan Metode Modern
Menemukan penyebab anemia kronis tidak cukup hanya dengan pemeriksaan hitung darah lengkap. Dokter biasanya perlu melakukan pemeriksaan tambahan seperti kadar ferritin, saturasi transferrin, jumlah retikulosit, serta pemeriksaan tanda-tanda peradangan. Biopsi sumsum tulang juga penting terutama pada kasus yang sulit dijelaskan atau tidak responsif terhadap terapi.
Salah satu tantangan besar dalam dunia medis adalah membedakan anemia akibat penyakit kronis dengan anemia karena kekurangan zat besi, karena kedua kondisi ini bisa terjadi bersamaan. Berkat kemajuan teknologi, kini ada pemeriksaan baru seperti kadar reseptor transferrin larut (sTfR) dan hepcidin yang mampu meningkatkan ketepatan diagnosis. Dr. Yasmin Deol, seorang patolog di Massachusetts General Hospital, menegaskan, "Diagnosis anemia yang tepat sangat penting agar terapi dapat disesuaikan dengan penyebabnya, sehingga menghindari pemberian suplemen yang tidak perlu atau penundaan pengobatan."
Strategi Pengelolaan dan Terapi Masa Depan
Penanganan anemia kronis harus fokus pada penyebab utamanya. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, agen perangsang eritropoiesis (ESA) tetap menjadi terapi utama. Untuk kasus anemia akibat gangguan autoimun, kortikosteroid atau obat imunosupresan mungkin diperlukan. Suplemen nutrisi seperti zat besi, vitamin B12, atau asam folat hanya diberikan setelah memastikan adanya defisiensi. Saat ini, penggunaan zat besi secara intravena semakin disukai terutama pada kasus anemia akibat peradangan kronis yang menyebabkan gangguan penyerapan di saluran pencernaan. Pada tahun 2024, uji klinis pengobatan dengan stabilisator faktor induksi hipoksia (HIF) menunjukkan hasil yang menjanjikan. Terapi ini mampu meningkatkan produksi eritropoietin secara alami, bahkan pada pasien yang tidak merespon ESA. Terapi ini tengah dikaji untuk digunakan pada anemia baik yang berkaitan dengan penyakit ginjal maupun yang bukan.
Anemia kronis bukan sekadar angka pada hasil pemeriksaan darah. Kondisi ini adalah masalah kesehatan serius yang memengaruhi hampir semua fungsi tubuh dan kualitas hidup seseorang. Karena berkembangnya yang lambat, anemia kronis sering terlambat didiagnosis, padahal dampaknya bisa sangat besar dan melemahkan. Dengan kemajuan teknologi diagnostik dan terapi modern, tenaga medis kini lebih mampu membantu pasien mengembalikan fungsi tubuh, menjaga daya pikir, serta meningkatkan kualitas hidup mereka.