Belanja sering kali dianggap sebagai cara yang menyenangkan dan tidak berbahaya untuk memperbaiki suasana hati. Istilah “retail therapy” bahkan sudah sangat familiar di telinga banyak orang.
Namun, di balik kesenangan sesaat dari membeli barang-barang baru, terdapat konsekuensi finansial yang cukup serius. Memang, berbelanja dapat memicu pelepasan hormon dopamin yang memberikan sensasi bahagia sementara, tetapi sayangnya, rasa lega itu sering kali tidak bertahan lama.
Menurut Dr. Susan Weinschenk, seorang psikolog perilaku, terapi belanja memicu pusat penghargaan di otak yang serupa dengan kebiasaan kompulsif lainnya. Sensasi kepuasan yang instan tersebut bisa menyebabkan kebiasaan belanja berlebihan yang sangat sulit dihentikan. Inilah awal dari siklus emosional yang tidak sehat dan penuh jebakan.
Hubungan Emosional Antara Stres dan Pengeluaran Berlebihan
Para ahli keuangan mengungkapkan bahwa belanja emosional sering kali muncul sebagai respons terhadap kecemasan, kesepian, atau tekanan hidup. Di era digital saat ini, kemudahan akses ke toko online semakin memperparah kebiasaan ini. Tanpa hambatan seperti perjalanan fisik ke toko atau waktu operasional, keinginan belanja bisa langsung diwujudkan dalam hitungan detik.
Berbeda dengan anggaran yang disusun berdasarkan tujuan keuangan jangka panjang, belanja yang digerakkan oleh emosi cenderung tidak rasional dan impulsif. Data dari National Endowment for Financial Education menunjukkan bahwa hampir 70% konsumen mengaku pernah membeli sesuatu hanya untuk memperbaiki suasana hati mereka, meskipun mereka sadar bahwa hal itu merugikan kondisi keuangan pribadi. Ini menciptakan lingkaran setan: stres memicu belanja, dan utang yang muncul akibat belanja tersebut justru menambah stres.
Biaya Tersembunyi dari Terapi Belanja
Dampak nyata dari terapi belanja mencakup menipisnya tabungan, meningkatnya utang kartu kredit, hingga terhambatnya kemampuan untuk berinvestasi atau merencanakan masa depan. Namun, dampak yang tidak terlihat, seperti perasaan bersalah, malu, dan menurunnya kepercayaan diri, tidak kalah seriusnya. Dr. Meir Statman, seorang pakar keuangan perilaku, menyebut bahwa kesalahan dalam pengelolaan uang akibat emosi bisa menghancurkan kepercayaan terhadap penilaian finansial diri sendiri. Ketika hal ini terjadi, banyak orang akhirnya memilih menghindari perencanaan keuangan atau bahkan menyangkal adanya masalah.
Strategi Ampuh Menghentikan Kebiasaan Belanja Emosional
1. Mengenali Pemicu Emosi
Langkah awal untuk mengatasi belanja impulsif adalah dengan memahami kondisi emosional yang mendahuluinya. Membuat jurnal pengeluaran yang mencatat suasana hati, waktu, dan jenis pembelian dapat membantu mengidentifikasi pola. Dengan kesadaran ini, Anda bisa mulai memisahkan kebutuhan emosional dari kebiasaan berbelanja.
2. Ganti dengan Aktivitas yang Lebih Sehat
Alih-alih menjadikan belanja sebagai pelarian, cobalah menggantinya dengan kegiatan lain seperti olahraga, meditasi, atau menekuni hobi kreatif. Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Consumer Psychology menunjukkan bahwa praktik kesadaran diri dapat mengurangi kecenderungan berbelanja impulsif dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi.
3. Tetapkan Batas Keuangan yang Jelas
Membuat anggaran khusus untuk pengeluaran non-esensial adalah cara efektif untuk mengendalikan dorongan belanja. Gunakan aplikasi keuangan yang dapat mengingatkan batas pengeluaran dan mengatur tabungan otomatis agar belanja tidak mengganggu kebutuhan utama.
4. Konsultasikan dengan Ahli
Jika kebiasaan belanja sudah mengarah pada perilaku kompulsif dan mulai mengganggu kehidupan sehari-hari, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan terapis keuangan atau konselor. Mereka dapat membantu Anda memahami akar emosional dari perilaku ini dan merancang strategi keuangan yang lebih sehat.
Menemukan Keseimbangan antara Kesehatan Emosional dan Finansial
Menganggap terapi belanja sebagai mekanisme pelarian emosional yang “tidak berbahaya” bisa berakibat fatal bagi kondisi finansial maupun mental. Sekali waktu menikmati belanja tentu wajar, tetapi ketika hal tersebut menjadi kebiasaan utama untuk mengatasi stres, Anda perlu waspada. Dr. Weinschenk menekankan pentingnya menggabungkan kecerdasan emosional dalam setiap keputusan keuangan. “Dengan meningkatkan kesadaran emosional saat berbelanja, seseorang bisa membuat pilihan yang lebih selaras dengan nilai hidup mereka dibanding hanya mengikuti perasaan sesaat,” jelasnya.
Kesimpulannya, meskipun retail therapy sering kali dipandang sebagai hiburan ringan, kenyataannya bisa berdampak cukup besar. Dengan mengenali pemicunya, mengganti kebiasaan lama dengan cara yang lebih sehat, serta membatasi keuangan secara bijak, Anda dapat mengambil kembali kendali atas keuangan dan kesejahteraan emosional Anda. Pendekatan holistik yang menggabungkan psikologi dan keuangan akan membantu mengubah belanja impulsif menjadi pengeluaran yang lebih sadar dan bertanggung jawab.