Investasi berisiko tinggi selalu berhasil menarik perhatian, baik dari investor individu maupun institusi besar. Di balik angka dan tren pasar, keputusan untuk terjun ke dalam investasi berisiko kerap dipengaruhi oleh faktor psikologis yang mendalam.
Ternyata, mengambil risiko dalam dunia keuangan tidak semata-mata demi mengejar keuntungan besar, tetapi juga mencerminkan emosi dan pola pikir kompleks yang membentuk perilaku seseorang.
Psikolog keuangan, Dr. Elena Morales, menjelaskan bahwa perilaku mengambil risiko berakar dari campuran kepribadian, pengalaman masa lalu, hingga respons neurologis seseorang. Sistem penghargaan dalam otak kita akan aktif secara berbeda ketika dihadapkan pada peluang untung atau rugi, yang akhirnya memengaruhi cara seseorang membuat keputusan investasi.
Sensasi yang Memabukkan: Ketika Emosi Mengalahkan Logika
Rasa tegang dan antusias yang muncul saat terlibat dalam investasi berisiko tinggi sering menjadi pemicu utama perilaku impulsif investor. Banyak dari mereka tergoda bukan karena potensi keuntungan yang nyata, tetapi karena sensasi ‘adrenalin’ yang ditimbulkan.
Penelitian neurosains menunjukkan bahwa otak melepaskan dopamin saat seseorang mengantisipasi hadiah besar. Dopamin inilah yang mendorong seseorang menjadi lebih berani mengambil langkah spekulatif, meskipun mengabaikan hal-hal mendasar seperti valuasi saham atau likuiditas pasar.
Dr. Marcus Lee, pakar keuangan perilaku, mengatakan, "Ketika investor terbawa emosi, otak lebih fokus pada kepuasan sesaat ketimbang perencanaan jangka panjang. Ini bisa membuat mereka meremehkan risiko kerugian yang sebenarnya cukup besar.”
Terlalu Percaya Diri dan Ilusi Kendali
Salah satu pola psikologis yang umum dijumpai di kalangan investor berisiko tinggi adalah rasa percaya diri yang berlebihan. Banyak dari mereka merasa memiliki kemampuan atau wawasan khusus yang tidak dimiliki orang lain, sehingga merasa bisa ‘mengendalikan’ pasar.
Bias ini semakin kuat jika sebelumnya mereka pernah meraih keuntungan besar dari beberapa transaksi. Keberhasilan tersebut menciptakan ilusi bahwa mereka mampu memprediksi pergerakan pasar secara akurat, padahal kenyataannya sangat dinamis dan tidak bisa ditebak.
Dr. Sarah Nguyen, ekonom perilaku, menjelaskan, “Investor sering kali melebih-lebihkan kemampuannya dalam membaca pasar, yang pada akhirnya membuat mereka terlalu fokus pada aset berisiko dan melupakan prinsip diversifikasi serta manajemen risiko.”
Takut Ketinggalan dan Pengaruh Sosial
Di era digital seperti sekarang, dinamika sosial memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap keputusan investasi. Rasa takut tertinggal atau yang dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO) mendorong banyak orang untuk ikut-ikutan membeli aset yang sedang naik daun, seperti mata uang kripto atau saham yang viral di media sosial.
Perilaku ini dipicu oleh dorongan sosial untuk mendapatkan validasi, sehingga banyak investor mengikuti jejak rekan, komunitas, atau tokoh berpengaruh. Hal ini mempercepat terbentuknya gelembung aset dan meningkatkan volatilitas pasar.
Menurut Dr. Robert Evans, seorang sosiolog keuangan, “Keputusan investasi saat ini tidak lagi bersifat individual. Mereka banyak dipengaruhi oleh opini di media sosial, sentimen komunitas, dan dorongan kolektif.”
Dilema Kognitif dan Pembenaran Pasca Investasi
Sering kali, investor yang sudah menaruh dana pada aset berisiko mengalami cognitive dissonance, rasa tidak nyaman saat realita tidak sesuai dengan harapan. Untuk meredam konflik batin ini, banyak yang justru membenarkan keputusan mereka, meski hasilnya merugikan.
Tak jarang, mereka malah menambah investasi pada aset yang sedang merugi demi membuktikan bahwa keputusan awal mereka benar. Padahal, strategi semacam ini bisa memperparah kerugian dan menyebabkan kehancuran finansial.
Penelitian perilaku menunjukkan bahwa investor lebih cenderung mempertahankan posisi rugi terlalu lama, karena enggan mengakui kesalahan atau kehilangan muka.
Strategi untuk Menghindari Perangkap Psikologis dalam Investasi Berisiko
Mengenali faktor-faktor psikologis ini adalah langkah awal untuk membangun kebiasaan investasi yang lebih sehat. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan untuk mengurangi keputusan emosional, seperti menetapkan batas risiko sejak awal (pre-commitment), melatih kesadaran emosional (mindfulness), dan menerapkan kerangka kerja sistematis dalam pengambilan keputusan.
Dr. Morales menyarankan agar investor mempertimbangkan pendampingan perilaku atau behavioral coaching dalam mengelola portofolionya. “Investor yang sadar akan kelemahan emosional dan bias pikirannya akan lebih mampu menghadapi risiko dengan tenang dan menjaga modal mereka tetap aman,” ujarnya.
Menggabungkan analisis data dengan pemahaman psikologis memberikan pendekatan yang lebih menyeluruh dalam mengelola risiko. Dengan kata lain, sukses dalam investasi berisiko tinggi bukan hanya soal kecerdasan finansial, tetapi juga kesadaran diri yang tinggi.
Menavigasi dunia investasi berisiko ibarat menari di antara ambisi dan psikologi. Keinginan untuk meraih keuntungan besar memang menggoda, tetapi tanpa pengendalian emosi dan pemahaman diri yang cukup, keputusan bisa berujung pada kerugian besar. Maka dari itu, penguasaan atas diri sendiri adalah kunci utama untuk menjadi investor tangguh dan sukses dalam jangka panjang.