Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) bukanlah sekadar reaksi emosional terhadap kejadian traumatis. Kondisi ini merupakan gangguan psikiatri serius yang dapat meninggalkan dampak jangka panjang pada kehidupan seseorang. Gejalanya tidak selalu muncul saat setelah kejadian, bahkan bisa sampai berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun.


Banyak yang mengira PTSD hanya dialami oleh kalangan tertentu, padahal kenyataannya kondisi ini dapat menimpa siapa saja. Dari penyintas kekerasan dalam rumah tangga, korban bencana alam, mereka yang pernah mengalami pelecehan masa kecil, hingga pasien yang pernah dirawat di ruang perawatan intensif, semuanya berpotensi mengalami PTSD.


Apa yang Terjadi di Otak Saat PTSD Menyerang?


Penelitian terbaru dalam bidang neurobiologi mengungkap perubahan luar biasa pada struktur dan fungsi otak penderita PTSD. Melalui pemindaian fungsional MRI, ditemukan bahwa bagian otak bernama amigdala, yang berperan dalam mengolah rasa takut, menjadi terlalu aktif. Sementara itu, aktivitas di korteks prefrontal, bagian otak yang berfungsi mengendalikan impuls dan pengambilan keputusan rasional, justru menurun drastis.


Sebuah meta-analisis tahun 2023 yang dimuat dalam jurnal Biological Psychiatry menemukan adanya penyusutan volume hipokampus, yaitu bagian otak yang membantu kita menempatkan ingatan traumatis dalam konteks yang tepat. Hal inilah yang membuat penderita PTSD sering merasa seolah trauma yang pernah mereka alami terjadi kembali secara nyata, dalam bentuk kilas balik (flashback) yang sangat mengganggu.


Tak hanya itu, sistem hormon stres pun ikut terganggu. Akses hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA axis) mengalami disfungsi, dan justru menunjukkan kadar hormon kortisol yang lebih rendah dari normal. Kondisi ini membuat tubuh gagal mematikan mode “siaga” atau “fight-or-flight” yang biasanya hanya aktif saat keadaan darurat.


Gejala PTSD Bisa Menyerupai Penyakit Lain


Banyak penderita PTSD datang ke klinik bukan dengan keluhan emosional, tetapi dengan gangguan fisik seperti nyeri kronis, gangguan pencernaan, atau keluhan jantung. Kondisi ini kerap membuat diagnosis menjadi tidak tepat sasaran. Pada anak-anak, PTSD bisa muncul sebagai perilaku agresif, kecemasan berpisah, atau kemunduran perilaku. Sedangkan pada lansia, terutama yang mengalami demensia, gejala bisa tampak sebagai halusinasi atau delusi yang berakar dari pengalaman traumatis masa lalu.


Karena gejalanya bisa sangat bervariasi, tenaga medis perlu melakukan wawancara yang mendalam dan penuh empati untuk menggali riwayat trauma pasien secara menyeluruh.


Siapa Saja yang Berisiko?


Faktor genetik juga ikut berperan. Sebuah studi genetik berskala besar yang terbit tahun 2024 mengidentifikasi sejumlah gen yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh dan peradangan yang bisa meningkatkan kerentanan seseorang terhadap PTSD. Ini memperkuat dugaan bahwa PTSD bukan hanya soal psikologis, tapi juga menyangkut faktor biologis yang kompleks.


Selain itu, faktor sosial seperti kemiskinan, ketidakstabilan tempat tinggal, dan keterbatasan akses layanan kesehatan mental memperbesar kemungkinan seseorang terpapar trauma tanpa mendapatkan penanganan yang memadai. Populasi minoritas, termasuk imigran dan pengungsi, juga berisiko tinggi dan kerap mengalami hambatan dalam memperoleh diagnosis serta perawatan.


Pengobatan Baru yang Menjanjikan


Obat antidepresan jenis SSRI seperti fluoxetine dan paroxetine masih menjadi pilihan utama. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa infus ketamin dapat memberikan perbaikan gejala yang lebih cepat, terutama pada penderita PTSD kompleks yang mengalami depresi berat. Meski demikian, penggunaan jangka panjang masih perlu dikaji lebih lanjut untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.


Di bidang psikoterapi, pendekatan Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) kian populer. Terapi ini melibatkan stimulasi bilateral sambil pasien mengingat trauma, yang bertujuan untuk memproses ulang memori traumatis secara adaptif. WHO dan Departemen Kesehatan AS kini merekomendasikan EMDR sebagai salah satu terapi utama.


Pendekatan kelompok juga terbukti efektif, terutama bagi mereka yang mengalami trauma bersama. Intervensi kelompok bukan hanya memberikan terapi psikologis, tetapi juga membangun rasa kebersamaan yang mengurangi rasa terasing dan stigma.


Komorbiditas yang Sering Terlewatkan


PTSD kerap muncul bersamaan dengan gangguan lain seperti gangguan panik, gangguan bipolar, atau gangguan disosiatif. Bahkan dalam beberapa kasus, gejalanya menyerupai gangguan neurologis seperti kejang atau kelumpuhan tanpa penyebab organik yang jelas, yang dikenal sebagai Functional Neurological Disorder (FND). Bila riwayat trauma tidak digali secara mendalam, kemungkinan besar diagnosis akan meleset dan penanganan pun tidak efektif.


Pentingnya Penanganan Dini


Penelitian menunjukkan bahwa intervensi dalam tiga bulan pertama pasca trauma dapat menurunkan risiko perkembangan PTSD hingga 40%. Oleh karena itu, skrining dini sangat penting dan kini mulai diterapkan di ruang gawat darurat, klinik kebidanan, hingga praktik dokter gigi—terutama setelah cedera atau kejadian yang menakutkan.


Model trauma-informed care juga semakin diadopsi oleh fasilitas medis. Pendekatan ini menekankan pada prediktabilitas, pemberdayaan pasien, dan keamanan emosional di setiap titik layanan. Dr. Sandra Bloom, penggagas Model Sanctuary, menekankan bahwa lingkungan rumah sakit bisa menjadi tempat penyembuhan atau justru memperparah trauma, tergantung pada cara tenaga medis memperlakukan pasien.


Masa Depan Penanganan PTSD Semakin Cerah


Teknologi digital kini menjadi ujung tombak dalam menangani PTSD. Aplikasi di ponsel pintar kini bisa memantau pola tidur, detak jantung, hingga emosi secara real-time, membantu mendeteksi gejala awal dan menyesuaikan terapi secara personal. Kecerdasan buatan bahkan mulai digunakan untuk menganalisis catatan medis dan mendeteksi pola trauma secara otomatis, meski tetap membutuhkan pengawasan manusia.


Di sisi lain, metode stimulasi otak seperti Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) dan Deep Brain Stimulation (DBS) sedang dikembangkan untuk kasus PTSD yang tidak merespons pengobatan konvensional.


PTSD adalah gangguan neuropsikiatri kompleks yang melibatkan berbagai aspek, biologis, psikologis, dan sosial. Pengakuan dan pemahaman terhadap kondisi ini harus melampaui definisi klinis dan melibatkan empati terhadap perjalanan trauma setiap individu.


simak video "Mengenal PTSD"

video by "Neuron"