Glaukoma, salah satu penyebab kebutaan yang dapat dicegah, terus menjadi tantangan besar dalam dunia kesehatan mata global.
Penyakit progresif pada saraf optik ini sering menyebabkan kehilangan penglihatan yang tidak dapat dipulihkan jika tidak dikelola dengan baik.
Umumnya, glaukoma terjadi akibat tekanan intraokular (IOP) yang tinggi, yang merusak saraf optik, meskipun ada berbagai faktor lain yang juga berperan. Namun, dengan kemajuan teknologi dan pemahaman terkini di tahun 2025, harapan baru muncul dalam upaya pengelolaan dan pelestarian penglihatan penderita glaukoma.
Glaukoma adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada saraf optik, yang berfungsi mengirimkan informasi visual dari mata ke otak. Bentuk yang paling umum, yaitu glaukoma sudut terbuka primer, terjadi karena adanya penyumbatan bertahap atau drainase cairan di dalam mata yang tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Tekanan yang tinggi ini memberi dampak mekanik dan iskemik yang merusak serat saraf optik, yang akhirnya menyebabkan kehilangan penglihatan yang sering kali tidak terdeteksi sampai tahap yang cukup lanjut.
Faktor risiko utama glaukoma antara lain riwayat keluarga dengan glaukoma, usia lebih dari 40 tahun, faktor rasial (lebih berisiko pada orang Afrika, Hispanik, dan Asia), ketebalan kornea yang tipis, serta beberapa fitur anatomis seperti sudut drainase yang tertutup atau kepala saraf optik yang lebih besar. Meskipun mengontrol IOP adalah metode utama dalam pencegahan, kesadaran dan skrining dini sangat penting karena kerusakan pada saraf optik yang telah terjadi tidak dapat dipulihkan.
Tujuan utama dalam pengelolaan glaukoma adalah menurunkan IOP hingga mencapai level yang mencegah atau memperlambat progresi kerusakan saraf optik. Secara tradisional, tetes mata yang mengandung obat-obatan menjadi pengobatan pertama, dengan berbagai jenis obat yang bekerja dengan cara meningkatkan aliran cairan mata atau mengurangi produksinya, seperti analog prostaglandin, beta-blocker, dan inhibitor karbonik anhidrase.
Namun, meskipun efektif, penggunaan tetes mata memerlukan kepatuhan jangka panjang dan seringkali menimbulkan efek samping. Terkadang, penggunaan obat-obatan ini juga tidak cukup untuk mengendalikan penyakit secara efektif.
Saat ini, terapi laser semakin populer, khususnya Selective Laser Trabeculoplasty (SLT). Prosedur rawat jalan ini menggunakan energi laser untuk merangsang perbaikan drainase cairan melalui mesh trabekular mata. Hasil penelitian besar, termasuk uji coba LiGHT 2023, menunjukkan bahwa SLT lebih unggul dibandingkan dengan penggunaan tetes mata sebagai pengobatan awal, dengan pasien yang menjalani SLT mengalami perkembangan penyakit yang lebih lambat dan memerlukan intervensi bedah lebih sedikit. Dr. Christine Funke, seorang ahli oftalmologi terkemuka, dengan tegas mengatakan, "Selalu pilih SLT terlebih dahulu. Kami tidak akan pernah meneteskan obat ke mata kami," menegaskan pergeseran dalam praktik klinis ini.
Ketika pengobatan dengan obat-obatan dan prosedur laser tidak cukup efektif, opsi bedah seperti trabeculectomy atau implan stent drainase diperlukan. Minimally Invasive Glaucoma Surgery (MIGS) atau bedah glaukoma minimal invasif menawarkan profil keamanan yang lebih baik dan pemulihan yang lebih cepat bagi pasien dengan glaukoma ringan hingga sedang. Mikro-stent ini memfasilitasi aliran cairan dan mengurangi risiko komplikasi yang biasanya terkait dengan operasi tradisional. Selain itu, kombinasi MIGS dengan operasi katarak juga menjadi peluang intervensi yang berharga, sehingga mengurangi jumlah prosedur yang diperlukan untuk pasien.
Selain fokus pada pengendalian tekanan, penelitian terkini juga menggali kemungkinan perlindungan dan bahkan perbaikan saraf optik itu sendiri. Agen neuroprotektif seperti nikotinamida (vitamin B3), koenzim Q10, dan sitikolina sedang dievaluasi untuk mengetahui kemampuan mereka dalam melindungi sel saraf dari kerusakan akibat glaukoma. Meskipun terapi ini masih dalam tahap penelitian, mereka menunjukkan potensi besar sebagai pelengkap pengobatan tradisional.
Lebih jauh lagi, terobosan terapi gen memberikan harapan baru untuk memperbaiki kerusakan saraf optik. Protokol eksperimental yang sedang dikembangkan bertujuan untuk memulihkan fungsi pada tingkat seluler, yang bisa mengubah lanskap pengobatan glaukoma di masa depan dengan menargetkan mekanisme penyakit secara langsung.
Perawatan glaukoma memerlukan pendekatan yang dinamis dan disesuaikan dengan tahap penyakit serta respons pasien terhadap terapi. Dr. Mitch Ibach, OD, FAAO, menekankan bahwa pengelolaan glaukoma adalah sebuah perjalanan, bukan solusi sekali jalan. Perubahan terapi mungkin melibatkan pergantian obat-obatan, prosedur laser, dan bahkan operasi, dengan tujuan untuk mengurangi beban obat dan menjaga kualitas hidup pasien.
Yang tak kalah penting adalah kolaborasi antara optometris dan oftalmologis. Kombinasi keahlian antara optometris yang menangani perawatan penglihatan rutin dan oftalmologis yang mengelola perawatan bedah dan lanjutan memberikan manfaat besar bagi pasien, sehingga meningkatkan hasil perawatan secara keseluruhan.
Pencegahan dan pengobatan glaukoma di tahun 2025 menekankan pada deteksi dini, pengendalian IOP yang efektif, dan perlindungan terhadap saraf optik melalui terapi-terapi yang sedang berkembang. SLT kini menjadi pengobatan awal yang lebih baik dibandingkan tetes mata, didukung oleh bukti klinis yang kuat dan dukungan ahli. Sementara itu, bedah minimal invasif terus menunjukkan peningkatan dalam hal keselamatan dan efektivitas untuk kasus-kasus yang lebih lanjut. Di sisi lain, strategi neuroprotektif dan terapi gen menjanjikan kemajuan luar biasa di luar pengelolaan tekanan konvensional.
Jangan lewatkan peluang untuk menjaga kesehatan mata Anda, karena pengelolaan glaukoma yang tepat dapat mencegah kehilangan penglihatan yang tidak dapat dipulihkan!