Pernahkah Anda merasa bangga setelah membeli salad dalam mangkuk kompos atau menyeruput kopi dari gelas berlabel "biodegradable"?


Rasanya seperti telah memberi kontribusi kecil untuk menyelamatkan bumi, bukan? Tapi inilah kenyataan pahitnya: tak semua kemasan yang terlihat "hijau" benar-benar ramah lingkungan seperti yang Anda kira.


Mari kita kupas lebih dalam dan lihat dari sisi ilmiah apa yang sebenarnya terkandung dalam kemasan ramah lingkungan ini dan apakah benar mereka menepati janji keberlanjutan yang sering digembar-gemborkan.


Apa Arti Sebenarnya dari "Ramah Lingkungan"?


Label seperti "kompos", "biodegradable", atau "berbasis tanaman" sering kali terdengar menjanjikan. Namun istilah-istilah ini tak selalu berarti sama. Kemasan yang disebut ramah lingkungan bisa terdiri dari berbagai bahan, seperti:


PLA (Polylactic Acid) – Terbuat dari pati jagung atau tebu, tampilannya seperti plastik bening, namun berasal dari tumbuhan.


Bagasse – Serat sisa dari proses pemerasan tebu yang digunakan untuk membuat mangkuk atau wadah makanan.


Karton dengan pelapis biodegradable – Contohnya adalah pembungkus sandwich atau gelas kopi yang terlihat seperti kertas tapi tahan cairan.


Masalahnya? Sebagian besar dari bahan-bahan ini membutuhkan kondisi khusus untuk bisa terurai dengan baik. Misalnya, PLA hanya bisa terurai dalam fasilitas pengomposan industri yang memiliki suhu dan kelembapan tinggi yang sayangnya belum tersedia di banyak kota. Jika dibuang ke tempat sampah biasa, kemasan ini bisa bertahan di tempat pembuangan akhir selama puluhan tahun, sama seperti plastik konvensional.


PLA: Bioplastik atau Sekadar Plastik dengan Nama Baru?


Meskipun berbahan dasar tanaman, PLA bukanlah jaminan untuk lingkungan yang lebih sehat. Secara kimiawi, PLA tergolong sebagai plastik termoplastik polyester—artinya, perilakunya sangat mirip dengan plastik berbasis minyak bumi.


Berikut beberapa hal penting yang perlu Anda ketahui:


Butuh suhu tinggi untuk terurai: PLA membutuhkan suhu minimal 55°C dan kelembapan tinggi agar bisa terurai dengan benar. Ini hampir mustahil tercapai di tempat sampah rumah tangga atau di alam bebas.


Risiko mikroplastik: Studi yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Pollution tahun 2021 menunjukkan bahwa PLA bisa terurai menjadi mikroplastik ketika terkena cahaya UV atau gesekan.


Kesimpulannya, tanpa proses pembuangan yang tepat, PLA hanya menjadi plastik yang terdengar "lebih hijau" tapi tetap membawa masalah lingkungan yang sama.


Apakah Kemasan Berbasis Kertas Lebih Baik?


Belum tentu. Banyak wadah makanan berbahan kertas dilapisi plastik tipis agar tahan air atau minyak. Lapisan ini bisa berupa polyethylene atau PLA yang lagi-lagi, hanya bisa terurai dalam kondisi khusus.


Namun, kini mulai bermunculan alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti pelapis berbasis air atau tanah liat yang bisa terurai di kompos rumah tangga. Sayangnya, penggunaan pelapis ini masih sangat terbatas dan belum jadi standar industri.


Pesannya: jika Anda tidak tahu jelas jenis pelapis yang digunakan, kemasan kertas yang Anda pegang mungkin tidak se-"hijau" kelihatannya.


Misteri Mikroplastik dari Kemasan Ramah Lingkungan


Salah satu ancaman tersembunyi dari kemasan "biodegradable" adalah kemungkinan meninggalkan mikroplastik. Studi dari University of Plymouth pada tahun 2022 menemukan bahwa banyak kantong yang disebut kompos, setelah tiga tahun tertanam di tanah atau terendam air, masih menyisakan jejak mikroplastik.


Kenapa ini penting?


Mikroplastik masuk ke rantai makanan: Mulai dari mikroba tanah hingga ikan, mereka bisa berakhir di atas piring Anda.


Gangguan terhadap sistem hormon: Penelitian menunjukkan bahwa beberapa bahan plastik, terutama dengan zat aditif, dapat mengganggu sistem endokrin makhluk hidup.


Jadi, meskipun kemasan tampak "eco-friendly", dampaknya tidak selalu seaman yang dijanjikan.


Lalu… Apa yang Bisa Anda Lakukan?


Tidak ada solusi yang sempurna, tapi ada beberapa langkah cerdas yang bisa Anda ambil untuk membuat pilihan yang lebih bertanggung jawab:


Cek sertifikasi pihak ketiga:


Label seperti BPI Certified Compostable atau TUV OK Compost HOME menunjukkan bahwa bahan telah diuji untuk terurai dalam kondisi tertentu.


Pilih serat alami tanpa pelapis:


Bahan seperti bagasse polos, bambu, atau kertas tanpa pelapis lebih mungkin terurai dengan baik di lingkungan alami.


Pahami sistem pengelolaan sampah di kota Anda:


Jika kota Anda belum memiliki fasilitas kompos industri, maka wadah "kompos" yang Anda buang kemungkinan besar hanya akan berakhir di tempat pembuangan akhir.


Gunakan wadah pakai ulang kapan pun bisa:


Botol, gelas, atau wadah makanan yang dapat digunakan kembali akan mengurangi kebutuhan terhadap kemasan sekali pakai yang belum tentu ramah lingkungan.


Mungkin selama ini Anda merasa sudah berbuat baik dengan memilih kemasan kompos atau biodegradable. Namun jika sendok kompos Anda akhirnya terkubur di TPA, apakah itu benar-benar pilihan terbaik?


Sebelum memilih kemasan "ramah lingkungan", luangkan waktu sebentar untuk melihat kenyataannya. Terkadang, solusi yang paling berkelanjutan bukanlah bahan baru yang terdengar canggih, tapi pilihan yang sesuai dengan sistem pengelolaan sampah yang benar-benar tersedia di sekitar Anda.


Sudahkah Anda mengecek seperti apa sistem pengomposan di kota Anda? Bisa jadi, kenyataan di lapangan jauh dari harapan yang dijanjikan oleh label-label hijau tersebut.