Selama bertahun-tahun, kadar kolesterol jahat atau LDL-C (low-density lipoprotein cholesterol) dianggap sebagai indikator utama dalam menilai risiko penyakit jantung koroner.
Terapi penurun kolesterol pun umumnya berfokus pada angka LDL-C.
Namun, bukti ilmiah terbaru telah mengguncang pandangan lama tersebut. Penelitian terkini menunjukkan bahwa non-HDL kolesterol (non-HDL-C) justru lebih andal dalam memprediksi risiko kardiovaskular secara menyeluruh.
Non-HDL-C mencakup semua kolesterol yang dibawa oleh lipoprotein aterogenik, termasuk LDL, VLDL, IDL, dan lipoprotein(a). Perhitungannya pun sederhana, cukup dengan mengurangi kadar HDL dari total kolesterol. Meski terlihat mudah, cara ini ternyata mampu menangkap gambaran penuh dari partikel-partikel berbahaya yang berperan dalam pembentukan plak arteri.
Sebuah studi kohort besar di Denmark yang melibatkan lebih dari 100.000 peserta menemukan bahwa individu dengan kadar non-HDL-C tinggi memiliki risiko lebih besar mengalami serangan jantung dalam kurun 10 tahun, meskipun kadar LDL-C mereka berada dalam batas aman. Hasil pemeriksaan dengan computed tomography angiography (CCTA) juga memperlihatkan bahwa non-HDL-C lebih selaras dengan tingkat keparahan plak koroner.
Penelitian lain yang diterbitkan di European Heart Journal tahun 2023 menganalisis 12 parameter lipid berbeda. Hasilnya, non-HDL-C memiliki hubungan paling kuat dengan kejadian kardiovaskular di masa depan, seperti serangan jantung, angina tidak stabil, hingga kematian mendadak. Setiap kenaikan 1 mmol/L non-HDL-C meningkatkan risiko sebesar 38 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan LDL-C yang hanya 21 persen.
Keunggulan non-HDL-C berasal dari sifat biologisnya. Jika LDL-C hanya merepresentasikan sebagian partikel berbahaya, non-HDL-C justru mencakup seluruh lipoprotein yang mengandung apolipoprotein B. Partikel-partikel ini berpotensi menembus dinding pembuluh darah, memicu stres oksidatif, hingga menarik sel imun yang memulai proses aterosklerosis.
Menurut pakar kardiologi, kolesterol kaya sisa metabolisme seperti VLDL dan IDL bukan hanya sekadar pembawa lemak, melainkan juga aktif secara metabolik dan bersifat pro-inflamasi. Dengan mengabaikan mereka, risiko nyata penyakit jantung bisa saja tidak terdeteksi sepenuhnya.
Pada pasien dengan sindrom metabolik atau diabetes, kadar trigliserida tinggi sering kali membuat pengukuran LDL-C menjadi kurang akurat. Non-HDL-C hadir sebagai solusi karena tetap relevan meski dalam kondisi tidak berpuasa dan stabil pada berbagai keadaan metabolik.
Selain itu, pada pasien dengan hiperkolesterolemia familial atau kadar lipoprotein(a) tinggi, non-HDL-C lebih konsisten dalam mencerminkan skor kalsium koroner serta penebalan dinding arteri. Dalam kasus ini, mengandalkan LDL-C saja bisa menyebabkan keterlambatan intervensi medis yang seharusnya lebih cepat dilakukan.
Walau LDL-C masih dijadikan target utama pada banyak pedoman, berbagai lembaga kesehatan kini mulai bergeser. Pernyataan ilmiah terbaru dari American Heart Association tahun 2024 menegaskan bahwa non-HDL-C sebaiknya dijadikan sasaran terapi tambahan, terutama jika kadar trigliserida ≥200 mg/dL.
Asosiasi Lipid Nasional juga telah merekomendasikan batas non-HDL-C <130 mg/dL untuk risiko sedang, dan <100 mg/dL untuk risiko tinggi. Perubahan ini menandakan konsensus baru bahwa non-HDL-C bukan sekadar penanda, melainkan elemen penting dalam pengelolaan kolesterol secara personal.
Penggabungan non-HDL-C dengan penanda lain seperti hs-CRP, skor kalsium koroner, serta analisis berbasis kecerdasan buatan semakin memperkuat akurasi prediksi. Sebuah penelitian di JAMA Cardiology tahun 2025 menunjukkan bahwa memasukkan non-HDL-C ke dalam model pembelajaran mesin meningkatkan ketepatan klasifikasi risiko hingga 14 persen dibandingkan hanya menggunakan LDL-C.
Artinya, non-HDL-C berperan penting dalam mendorong era baru kardiologi presisi yang lebih terarah pada kebutuhan setiap individu.
Dalam berbagai uji klinis besar, termasuk IMPROVE-IT dan FOURIER, pasien yang berhasil menurunkan non-HDL-C dengan statin, ezetimibe, atau PCSK9 inhibitor mengalami penurunan kejadian kardiovaskular yang signifikan. Menariknya, hasil ini tetap konsisten meskipun kadar LDL-C sudah berada di bawah target.
Selain itu, non-HDL-C juga sangat bermanfaat untuk mengevaluasi efektivitas terapi yang menurunkan lipoprotein kaya trigliserida, seperti fibrat, omega-3, dan terapi baru yang tengah diteliti seperti inhibitor ANGPTL3.
Di tengah kemajuan ilmu kardiologi, non-HDL kolesterol tampil sebagai metrik sederhana namun sangat kuat. Tanpa biaya tambahan atau pemeriksaan rumit, dokter bisa mendapatkan gambaran risiko jantung yang lebih akurat dibanding hanya mengandalkan LDL-C.
Sebagaimana disampaikan oleh seorang pakar kardiologi internasional, "Kita tidak menyingkirkan LDL-C, tetapi kita perlu mengakui keterbatasannya. Non-HDL-C adalah alat penting yang seharusnya ada di tangan setiap klinisi dalam menangani risiko kardiovaskular."