Inflasi yang sehat umumnya berada di kisaran 2–3% per tahun dan dianggap sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi yang stabil. Namun, ada kondisi ekstrem yang jauh lebih mengerikan: hiperinflasi. Ini bukan sekadar harga-harga yang meroket, melainkan kehancuran total atas nilai mata uang suatu negara.


Hiperinflasi terjadi saat laju inflasi menembus angka 50% dalam sebulan. Meskipun jarang terjadi, dampaknya bisa sangat merusak. Daya beli masyarakat runtuh, tabungan menjadi tidak bernilai, dan kepercayaan terhadap sistem ekonomi bisa hancur dalam hitungan minggu. Lantas, apakah dunia saat ini di tahun 2025 masih berisiko mengalaminya?


Penyebab Utama Hiperinflasi: Dari Dulu Hingga Sekarang


Dalam sejarah, hiperinflasi umumnya dipicu oleh pencetakan uang secara berlebihan oleh pemerintah yang tak mampu membiayai defisit anggarannya. Saat utang negara melonjak tanpa didukung oleh pendapatan atau pertumbuhan ekonomi yang memadai, pemerintah tergoda untuk "mencetak jalan keluar" dari masalah, dan di sinilah mimpi buruk dimulai.


Namun, situasi ekonomi global saat ini jauh lebih kompleks. Apakah sistem moneter modern telah cukup kuat menghadapi risiko ini? Ataukah kita masih mengulangi kesalahan lama dengan wajah baru?


Tekanan Global & Risiko Kebijakan Moneter Saat Ini


Dalam tiga tahun terakhir, bank sentral di berbagai negara berjuang mengendalikan inflasi yang melampaui target jangka panjang mereka. Meskipun beberapa wilayah telah berhasil menurunkan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter, keberlanjutan pencapaian ini masih dipertanyakan.


Bank sentral kini menghadapi dilema besar. Jika mereka kehilangan kredibilitas dalam mengelola ekspektasi inflasi, jalan menuju hiperinflasi bisa terbuka secara perlahan, bukan dengan ledakan, tetapi dengan serangkaian kesalahan kebijakan yang terus berulang.


Lebih mengkhawatirkan lagi, utang publik telah menyentuh rekor tertinggi baik di negara maju maupun berkembang. Ketika pelunasan utang dilakukan dengan penciptaan uang baru secara agresif, ini bisa memicu spiral harga yang sulit dihentikan. Di negara berkembang, kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan sering kali masih rapuh, sehingga satu kesalahan kecil saja bisa menyebabkan pelarian investor dan kolapsnya modal, dua pemicu awal dari hiperinflasi.


Apakah Negara Maju Juga Terancam?


Secara teori, negara-negara maju memiliki institusi yang lebih kuat, transparansi kebijakan yang lebih baik, dan alat yang lebih lengkap untuk mengendalikan inflasi. Namun, dalam praktiknya, banyak negara maju juga semakin bergantung pada stimulus yang dibiayai utang.


Yang perlu diwaspadai, hiperinflasi tidak selalu hadir dalam bentuk kekacauan langsung. Ia bisa datang secara perlahan, tersamar dalam bentuk stimulus ekonomi yang agresif, terutama saat kepercayaan global terhadap mata uang fiat mulai goyah akibat ketidakstabilan global.


Ekonom Kenneth Rogoff pernah memperingatkan: "Menjaga kredibilitas bank sentral dalam mengendalikan ekspektasi inflasi sangatlah krusial; kesalahan bisa mengikis kepercayaan dan memicu lonjakan harga yang tak terkendali."


Ketika ekspansi fiskal berlangsung terus-menerus tanpa diiringi peningkatan produktivitas, bahkan sistem ekonomi negara paling kuat pun bisa diuji dalam kondisi global yang tidak menentu. Ditambah lagi, pergeseran dunia menuju blok-blok perdagangan regional dan munculnya persaingan aset digital bisa mengganggu arus modal dan stabilitas mata uang dengan cara yang tak terduga.


Peran Mata Uang Digital: Solusi atau Ancaman Baru?


Munculnya mata uang digital bank sentral (Central Bank Digital Currencies/CBDC) membawa potensi besar untuk meningkatkan efisiensi keuangan. Namun, inovasi ini juga membuka jalan bagi pemerintah untuk mendistribusikan uang secara langsung kepada masyarakat. Dalam kondisi krisis fiskal, hal ini bisa disalahgunakan.


CBDC tidak menyebabkan hiperinflasi dengan sendirinya. Namun, dalam kondisi pengelolaan yang buruk, uang digital bisa mempercepat laju inflasi karena memungkinkan transfer dana dalam skala besar dan cepat. Jika tidak diawasi secara ketat, hal ini bisa menjadi bahan bakar tambahan bagi inflasi yang sudah mulai tak terkendali.


Tanda-Tanda Awal Hiperinflasi: Jangan Abaikan Ini!


Memprediksi hiperinflasi memang sangat sulit, karena seringkali diawali oleh "titik kritis" yang tidak selalu terlihat jelas. Namun, ada beberapa tanda yang patut Anda waspadai:


- Inflasi dua digit yang terus-menerus, disertai menurunnya kepercayaan terhadap bank sentral


- Pertumbuhan suplai uang yang cepat, tanpa peningkatan output ekonomi


- Nilai tukar mata uang nasional yang terus melemah terhadap mata uang asing


- Investor mulai ragu membeli obligasi negara karena risiko gagal bayar meningkat


Jika indikator-indikator ini muncul bersamaan, terutama di negara dengan ekonomi lemah, risiko hiperinflasi bisa menjadi nyata dalam waktu singkat.


Meskipun saat ini hiperinflasi tampak tidak mungkin terjadi di sebagian besar negara maju, bukan berarti ancaman ini sudah hilang. Negara-negara dengan tekanan fiskal ekstrem dan kelemahan institusional tetap berada di zona bahaya. Dalam sistem keuangan global yang semakin saling terhubung, guncangan di satu titik bisa menyebar dengan cepat. Kepercayaan, sekali runtuh, sangat sulit untuk dipulihkan. Maka dari itu, bagi investor global dan pembuat kebijakan, memahami potensi hiperinflasi bukan sekadar langkah pencegahan, ini adalah upaya menyelamatkan stabilitas masa depan.