Pernahkah merasa tenggelam dalam dunia fiksi, seolah sedang kabur dari riuhnya kehidupan?
Duduk di sudut ruangan sambil membaca, dan tiba-tiba bukan lagi berada di kota tempat tinggal, melainkan di sebuah kastil tua, kapal luar angkasa, atau desa kecil yang aromanya seperti roti kayu manis. Kedengarannya seperti melarikan diri, bukan?
Tapi tunggu dulu, bagaimana jika sebenarnya itu bukan sekadar pelarian? Bagaimana jika, justru lewat cerita-cerita rekaan itulah realita mulai terasa lebih dekat dan mudah dipahami?
Benar, membaca novel bisa menjadi jeda yang dibutuhkan ketika dunia nyata terasa terlalu bising atau membingungkan. Tapi di balik semua itu, cerita fiksi tidak pernah benar-benar meninggalkan kenyataan. Justru, melalui alur cerita yang dibuat-buat, banyak emosi dan konflik hidup nyata ikut ditelusuri, hanya saja dalam bentuk yang lebih aman dan terkontrol.
Saat membaca, emosi pun ikut berproses. Ketegangan, kesedihan, harapan, bahkan kebahagiaan hadir dalam bentuk yang lebih lembut. Itulah mengapa fiksi bisa terasa menyembuhkan.
Pernah merasakan sedih yang begitu dalam karena tokoh dalam novel mengalami kehilangan? Atau ikut tersenyum bahagia ketika dua karakter akhirnya saling memahami? Itu bukan hal aneh. Emosi yang ditawarkan oleh novel sering kali terasa lebih jujur dibandingkan kenyataan.
Fiksi seperti jembatan untuk merasakan sesuatu yang terlalu berat bila dihadapi langsung. Ketika kenyataan tidak memberi ruang untuk mengekspresikan perasaan, cerita rekaan menjadi tempat yang aman untuk menangis, tertawa, atau merenung.
Buku-buku fiksi membuka jalan untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Melalui karakter yang pendiam, bisa belajar tentang kekuatan dari kesabaran. Dari tokoh yang keras kepala, bisa belajar pentingnya mendengarkan. Bahkan dari karakter yang awalnya tidak disukai, bisa muncul pemahaman bahwa setiap orang punya cerita.
Tak jarang, novel justru menjadi alat paling kuat untuk melatih empati. Karena ketika masuk ke dalam kehidupan orang lain, meski fiktif rasa peduli itu tumbuh alami.
Rahasia dari novel yang hebat: ceritanya mungkin imajinatif, tapi pesannya sangat nyata. Kisah fantasi yang penuh makhluk ajaib sebenarnya sedang bicara tentang rasa takut, keberanian, atau proses tumbuh dewasa. Drama kecil di kota sunyi mungkin menggambarkan tentang perubahan, penerimaan, atau bagaimana mengenal diri sendiri lebih dalam.
Fiksi memang menyamar sebagai hiburan, tetapi selalu membawa cermin kecil yang secara halus menunjukkan bagian dari kehidupan nyata.
Mungkin jawabannya adalah: keduanya. Novel memang bisa menjadi tempat pelarian yang nyaman. Tapi sering kali, di halaman-halamannya yang terasa asing, justru ditemukan potongan-potongan diri sendiri. Perasaan yang belum pernah bisa dijelaskan, perlahan menjadi lebih jelas. Situasi yang sebelumnya sulit dipahami, tiba-tiba bisa diterima.
Kadang, membaca novel menjadi cara paling aman untuk menghadapi kenyataan yang terlalu berat jika ditatap langsung.
Apakah novel bagi Anda adalah tempat untuk bersembunyi, atau jendela untuk melihat dunia dengan cara yang lebih jujur? Mungkin pernah ada satu buku yang mengubah cara melihat sesuatu. Atau ada karakter yang terasa seperti sahabat lama yang mengerti tanpa perlu banyak kata.
Apa pun jawabannya, satu hal pasti: fiksi membuat merasa, dan itu adalah kekuatan yang luar biasa.