Nyeri yang menjalar dari punggung bawah hingga ke kaki bukanlah sekadar pegal biasa, bisa jadi itu adalah sciatica.
Kondisi neurologis ini ternyata lebih umum daripada yang dibayangkan, dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup serta produktivitas, terutama bagi para profesional yang aktif dan sibuk.
Sciatica muncul akibat gangguan pada saraf skiatik, yaitu saraf paling panjang dalam tubuh manusia. Saraf ini berasal dari akar saraf tulang belakang bagian bawah (L4 hingga S3) dan menjalar ke bokong hingga ke kaki. Fungsi utamanya adalah mengirimkan sinyal motorik dan sensorik ke tungkai bawah.
Tekanan mekanis akibat kondisi seperti hernia nukleus pulposus, penyempitan kanal tulang belakang (stenosis spinal), atau penyakit diskus degeneratif, dapat memicu peradangan dan gangguan saraf. Inilah yang menyebabkan rasa nyeri tajam dan menusuk yang khas pada penderita sciatica.
Kemajuan dalam teknologi pencitraan saraf, seperti MRI resolusi tinggi, memungkinkan identifikasi akar saraf yang terkena dengan lebih tepat. Selain itu, penelitian terbaru menyoroti peran neuroinflamasi dan mediator biokimia yang mempertahankan nyeri kronis, sehingga pendekatan terapi kini tidak hanya fokus pada aspek mekanis semata.
Sciatica bukan hanya soal nyeri punggung. Banyak penderita juga merasakan mati rasa, sensasi kesemutan, hingga kelemahan otot pada satu sisi kaki. Dalam beberapa kasus, refleks juga mengalami gangguan. Pola nyeri biasanya mengikuti distribusi dermatom, namun bisa sangat bervariasi antar individu, membuat proses diagnosis menjadi menantang.
Menurut Dr. Michael G. Fehlings, seorang ahli bedah saraf dan tulang belakang terkemuka, "Sciatica adalah kondisi multifaktorial. Kompresi akar saraf berinteraksi dengan proses inflamasi, sehingga gejala yang muncul sangat individual."
Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh yang meliputi pemeriksaan neurologis dan pencitraan sangat penting untuk membedakan sciatica dari penyebab nyeri tungkai lainnya seperti neuropati perifer atau gangguan pembuluh darah.
Diagnosis tradisional biasanya mengandalkan riwayat medis dan tes fisik seperti uji angkat kaki lurus (straight leg raise). Namun, teknologi terbaru seperti MRI dan Diffusion Tensor Imaging (DTI) kini mampu memperlihatkan struktur saraf secara lebih detail, termasuk perubahan mikrostruktur yang sebelumnya sulit dideteksi.
Studi elektrofisiologi seperti elektromiografi (EMG) juga digunakan untuk menilai fungsi penghantaran saraf. Dengan menggabungkan semua metode ini, dokter dapat memperoleh gambaran yang komprehensif untuk menegakkan diagnosis secara tepat dan menghindari kesalahan tindakan medis.
Untuk sebagian besar kasus, pengobatan sciatica bisa dilakukan tanpa operasi. Latihan fisik yang terarah untuk memperkuat otot inti, obat antiinflamasi, hingga suntikan steroid di sekitar saraf bisa membantu meredakan gejala.
Namun, bila keluhan terus berlanjut atau sudah mengganggu aktivitas sehari-hari secara signifikan, tindakan minimal invasif seperti mikrodiskektomi bisa menjadi solusi. Prosedur ini relatif cepat dan tidak membutuhkan waktu pemulihan yang lama.
Selain itu, dunia medis kini mulai menjajaki terapi regeneratif seperti suntikan plasma kaya trombosit (PRP) dan terapi sel punca. Meski masih dalam tahap penelitian, metode ini menawarkan harapan baru bagi penderita sciatica kronis yang sulit diatasi dengan cara konvensional.
Sciatica merupakan kondisi kompleks yang melibatkan faktor mekanis dan biokimia, mempengaruhi saraf skiatik secara multifaset. Namun, dengan kemajuan teknologi medis dan pemahaman mendalam akan mekanisme penyakit ini, peluang pemulihan semakin besar.
Dr. Michael G. Fehlings menegaskan, "Pemahaman mendalam terhadap kompleksitas sciatica adalah kunci untuk meningkatkan hasil terapi dan mengurangi dampak luasnya pada masyarakat."