Selama ini, serangan jantung kerap dikaitkan dengan tingginya kadar kolesterol dan penyumbatan pembuluh darah. Namun, bukti terbaru mengungkap bahwa peran utama dalam serangan jantung sebenarnya berasal dari peradangan yang berlangsung terus-menerus di dalam tubuh.
Bukan hanya kolesterol yang menjadi masalah, tetapi respons sistem imun terhadap kerusakan pada dinding arteri justru menjadi pemicu utama pecahnya plak yang dapat menyebabkan serangan jantung mendadak.
Peradangan pada dasarnya adalah mekanisme alami tubuh untuk menyembuhkan luka atau melawan infeksi. Misalnya, ketika pergelangan kaki terkilir, sel-sel imun langsung bereaksi, menyebabkan kemerahan dan pembengkakan demi mempercepat penyembuhan. Namun, berbeda halnya ketika peradangan terjadi secara terus-menerus di dalam arteri. Dalam kasus ini, peradangan berubah menjadi musuh dalam selimut.
Menurut Dr. Peter Libby, "Peradangan kronis di dinding arteri, yang bisa disebabkan oleh tekanan darah tinggi atau stres metabolik dapat merusak lapisan endotel, memicu pembentukan plak, dan pada akhirnya menyebabkan pecahnya plak yang bisa menimbulkan kejadian akut."
Lapisan terdalam pembuluh darah (endotel) sangat rentan terhadap cedera akibat racun, stres mekanis, atau gangguan metabolik. Ketika terjadi kerusakan, tubuh mengaktifkan respons imun dengan melepaskan zat-zat seperti sitokin dan kemokin. Senyawa ini mengundang sel darah putih untuk berkumpul di lokasi kerusakan. Mereka kemudian menyerap kolesterol dan limbah lainnya, membentuk tumpukan lemak yang disebut plak.
Seiring waktu, lingkungan yang penuh peradangan ini melemahkan lapisan pelindung plak (fibrous cap). Sel imun melepaskan enzim yang merusak struktur pelindung tersebut, menjadikan plak sangat rentan pecah. Ketika plak ini pecah, isinya yang bersifat pembekuan langsung terpapar ke aliran darah, membentuk gumpalan yang bisa menyumbat arteri secara tiba-tiba, dan inilah yang menyebabkan serangan jantung.
Setelah seseorang mengalami serangan jantung, tubuh memicu reaksi peradangan hebat untuk membersihkan sel-sel mati dan memulai proses perbaikan. Proses ini melibatkan berbagai jenis sel imun seperti neutrofil, monosit, makrofag, dan limfosit, yang semuanya melepaskan sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-1β (IL-1β), IL-6, dan TNF-α.
Meski penting untuk pemulihan, peradangan yang berlebihan justru bisa menambah kerusakan pada jantung. Penelitian yang dipimpin Dr. Matthew J. Feinstein menunjukkan bahwa "Peradangan sistemik yang tidak terkendali berperan besar dalam berkembangnya gagal jantung dengan fraksi ejeksi terjaga (HFpEF), yang menghubungkan stres metabolik dengan gangguan struktur dan fungsi jantung."
Selama ini, pengobatan untuk mencegah serangan jantung fokus pada penurunan kolesterol dan tekanan darah. Namun, saat ini terapi anti-peradangan mulai dilirik sebagai solusi revolusioner. Sebuah uji klinis yang dipimpin oleh Dr. Joseph Cheriyan menunjukkan bahwa dosis rendah aldesleukin, obat pengatur sistem imun, mampu mengurangi peradangan arteri dan menurunkan risiko serangan jantung berulang.
Menurut Prof. Ziad Mallat, ahli penyakit kardiovaskular, “Mengaktifkan jalur anti-inflamasi tubuh, seperti meningkatkan sel T regulatorik, berpotensi mengubah total penanganan pasien pasca serangan jantung dan meningkatkan hasil jangka panjang."
Faktor gaya hidup sangat berperan dalam meningkatkan peradangan kronis. Kelebihan berat badan, terutama lemak di sekitar perut, kurangnya aktivitas fisik, serta pola makan yang buruk, semuanya memperburuk kondisi peradangan sistemik dan merusak arteri secara perlahan.
Dr. Paul M. Ridker menegaskan, "Setengah dari semua kasus serangan jantung terjadi pada individu dengan kadar kolesterol normal. Ini menunjukkan bahwa peradangan adalah faktor risiko independen yang sangat penting."
Kini semakin jelas bahwa peradangan bukan sekadar gejala sampingan, melainkan dalang utama di balik serangan jantung. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, pendekatan yang menargetkan peradangan bisa menjadi kunci utama dalam mencegah dan mengobati penyakit jantung secara lebih efektif.