Urtikaria kronis atau yang secara medis dikenal sebagai Chronic Spontaneous Urticaria (CSU) merupakan kondisi yang membingungkan dalam dunia medis karena sifatnya yang terus-menerus dan sulit diprediksi.


Meskipun tampak seperti alergi biasa, nyatanya CSU jauh lebih kompleks dan melibatkan mekanisme imunologi yang dalam.


Lanskap Imunologi di Balik CSU: Bukan Reaksi Alergi Biasa


Tidak seperti reaksi alergi konvensional yang biasanya dipicu alergen spesifik, CSU melibatkan aktivasi abnormal dari sel mast dan basofil, dua jenis sel imun yang berperan penting dalam reaksi peradangan. Menurut Dr. Jonathan A. Bernstein, MD, "Urtikaria adalah gangguan yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas sel mast. Sel-sel ini melepaskan zat kimia seperti histamin dan sitokin yang menyebabkan gejala seperti bentol dan, dalam kasus parah, angioedema. Aktivasi ini bisa terjadi tanpa kehadiran alergen klasik."


Pada banyak kasus CSU, pelepasan histamin tidak dimediasi oleh antibodi IgE seperti pada alergi umum. Artinya, tubuh bisa mengalami reaksi seperti alergi padahal tidak ada pemicu dari luar. Inilah yang membuat CSU menjadi salah satu gangguan imun yang kompleks.


Autoimun: Ketika Sistem Imun Salah Sasaran


Banyak kasus CSU yang menunjukkan adanya proses autoimun, yaitu ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang bagian dari tubuh sendiri. Antibodi terhadap reseptor IgE berafinitas tinggi (FcεRIα) atau terhadap IgE itu sendiri dapat mengikat dan mengaktifkan sel mast, menyebabkan pelepasan zat peradangan meskipun tidak ada alergen.


Tidak hanya itu, limfosit T autoreaktif yang memproduksi interferon-gamma (IFN-γ) juga ditemukan pada pasien CSU. Aktivasi sel T ini diyakini berkaitan dengan pembentukan autoantibodi dan memperkuat reaksi imun abnormal yang terjadi pada pasien CSU.


Peran Sitokin dan Sel Imun dalam Memicu Peradangan


CSU memunculkan respons imun yang kompleks, ditandai dengan peningkatan sitokin proinflamasi seperti interleukin-17 (IL-17), interleukin-21 (IL-21), dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α). Sitokin ini menarik dan mengaktifkan berbagai sel imun seperti neutrofil dan makrofag yang memperparah peradangan pada kulit.


Selain itu, sel T regulator (Treg) yang berfungsi menjaga keseimbangan sistem imun ditemukan dalam jumlah sedikit atau mengalami gangguan fungsi pada penderita CSU. Hal ini menyebabkan lingkungan kulit menjadi lebih rentan terhadap peradangan berulang.


Dr. Ana Giménez-Arnau, seorang pakar dermatologi, menegaskan, "CSU adalah hasil interaksi kompleks antar sel imun. Penurunan fungsi Treg dan peningkatan respons Th17 menjadi faktor penting dalam berlanjutnya inflamasi dan aktivasi sel mast."


Neutrofil, Makrofag, dan Sel-Sel Imun Baru yang Jadi Sorotan


Penelitian terbaru menemukan bahwa neutrofil tidak hanya berperan dalam melawan infeksi, tetapi juga bertindak sebagai penyaji antigen dan memicu pelepasan zat seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan rasa gatal.


Sementara itu, makrofag tipe M2 mendominasi lesi kulit penderita CSU. Makrofag ini mendukung peradangan tipe Th2 yang dapat memperpanjang durasi penyakit dan menyebabkan perubahan struktur jaringan kulit.


Solusi Terkini: Terobosan Pengobatan Lewat Jalur Imun


Meningkatnya pemahaman tentang mekanisme imun di balik CSU membuka pintu bagi terapi yang lebih tepat sasaran. Salah satu pengobatan yang telah terbukti efektif adalah omalizumab, antibodi monoklonal yang menargetkan IgE sehingga menghambat aktivasi sel mast.


Selain itu, terapi penghambat enzim Bruton Tyrosine Kinase (BTK) juga mulai dilirik. Enzim ini memiliki peran penting dalam jalur pensinyalan sel mast dan sel B, yang keduanya sangat berperan dalam peradangan yang terjadi pada CSU.


Keterkaitan CSU dan Penyakit Tiroid Autoimun: Waspadai Hubungannya!


Fakta menarik lainnya adalah tingginya angka penderita CSU yang juga memiliki gangguan autoimun tiroid, seperti Hashimoto. Kehadiran antibodi tiroid pada pasien CSU mengindikasikan adanya keterkaitan genetik atau predisposisi autoimun yang mendasari kedua kondisi ini.


Dr. Maria A. Gonzales, spesialis endokrinologi, menyarankan, "Jika seseorang menderita urtikaria kronis, penting juga memeriksa kondisi tiroidnya. Pemeriksaan antibodi tiroid bisa menjadi langkah penting dalam menentukan pendekatan terapi yang lebih efektif."


Chronic Spontaneous Urticaria adalah manifestasi dari kekacauan sistem imun yang kompleks. Gejalanya mungkin tampak sepele, tapi penyebabnya melibatkan disfungsi imun mendalam, mulai dari aktivasi sel mast tanpa alergen, autoimunitas, ketidakseimbangan sitokin, hingga keterlibatan berbagai jenis sel imun seperti sel T, neutrofil, dan makrofag.