Penggunaan lima obat atau lebih secara bersamaan (Polypharmacy) semakin meningkat di seluruh dunia. Kondisi ini meningkat karena penyakit kronis yang menyerang kelompok usia lanjut seperti hipertensi, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan gangguan jantung. Sayangnya, bukan kesembuhan yang didaptkan justru bisa berbalik menjadi masalah serius.
Riset menunjukkan bahwa rata-rata lansia di negara maju mengonsumsi lebih dari enam jenis obat setiap harinya. Angka ini jauh melampaui kisaran yang direkomendasikan, yakni hanya 1,3 hingga 2,2 jenis obat. Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: Apakah lebih banyak obat benar-benar lebih baik?
Efek Penuaan: Tubuh Lansia Tidak Lagi Sama
Seiring bertambahnya usia, fungsi ginjal dan hati mengalami penurunan alami. Organ-organ vital ini berperan penting dalam proses metabolisme dan pengeluaran obat dari tubuh. Ketika fungsi mereka menurun, risiko penumpukan obat dan keracunan meningkat drastis. Artinya, bukan hanya jumlah obat yang harus diperhatikan, tetapi juga bagaimana tubuh memproses masing-masing zat tersebut.
Fenomena polypharmacy pada lansia bukan sekadar soal kuantitas, tetapi berkaitan erat dengan perubahan cara kerja tubuh yang membuat lansia lebih rentan terhadap efek samping obat.
Risiko Polypharmacy: Lebih dari Sekadar Interaksi Obat
Mengonsumsi banyak obat secara bersamaan meningkatkan risiko reaksi merugikan yang disebut adverse drug reactions (ADR). Pada lansia, ADR bisa berujung pada kunjungan darurat ke rumah sakit, rawat inap yang berkepanjangan, dan bahkan komplikasi serius lainnya.
Contohnya, penggunaan obat penenang atau obat tidur dapat menyebabkan pusing, bingung, hingga kehilangan keseimbangan yang memicu jatuh. Jatuh merupakan salah satu penyebab utama cedera serius bahkan kematian pada lansia. Selain itu, penggunaan obat yang berlebihan juga dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif, kelemahan fisik, hingga munculnya sindrom geriatri seperti inkontinensia dan kerapuhan.
Belum lagi masalah kepatuhan terhadap pengobatan. Semakin kompleks jadwal minum obat, semakin besar kemungkinan lansia lupa atau salah dosis. Hal ini membuat pengobatan tidak efektif, dan kondisi penyakit bisa memburuk. Biaya yang tinggi untuk membeli banyak resep juga kerap memaksa pasien memilih obat mana yang akan dikonsumsi, dan mana yang harus ditinggalkan.
Sebuah studi di Rumah Sakit King Chulalongkorn Memorial, Bangkok, menemukan bahwa 63% pasien lansia mengalami masalah terkait obat. Faktor terbesar? Polypharmacy dan banyaknya penyakit penyerta. Fakta ini bukan hanya terjadi di Asia Tenggara, tetapi juga mencerminkan tantangan global.
Solusi Cerdas: Kurangi Obat, Tambah Kualitas Hidup
Mengelola polypharmacy bukan perkara mudah. Dibutuhkan pendekatan multidisiplin yang menempatkan pasien sebagai pusat perhatian. Salah satu langkah penting adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua obat yang dikonsumsi, dikenal sebagai medication review. Dalam proses ini, dokter, apoteker, dan perawat bekerja sama menilai manfaat dan risiko setiap obat.
Salah satu strategi yang semakin populer adalah deprescribing, yaitu proses sistematis untuk menghentikan atau mengurangi penggunaan obat yang tidak lagi diperlukan. Tujuannya bukan sekadar mengurangi jumlah obat, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup pasien.
Menurut Dr. Michael J. R. Anderson, pakar farmakologi geriatrik, deprescribing adalah kesempatan untuk membebaskan lansia dari obat-obatan yang tidak berguna atau bahkan membahayakan. Ia menekankan pentingnya evaluasi rutin terhadap fungsi ginjal, kondisi mental, serta status gizi pasien untuk menyesuaikan dosis dan jenis obat secara dinamis.
Edukasi kepada pasien juga sangat penting. Menyederhanakan jadwal minum obat dan memberi pemahaman tentang tujuan pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan dan membuat pasien merasa lebih terlibat dalam perawatan dirinya sendiri.
Peran Tenaga Kesehatan dan Teknologi Masa Kini
Apoteker memiliki peran strategis dalam mendeteksi interaksi obat, mengedukasi pasien, dan memberikan rekomendasi kepada tim medis. Model kolaborasi yang melibatkan apoteker dalam tim pelayanan primer terbukti menurunkan angka rawat inap akibat obat.
Teknologi juga memberikan solusi baru. Sistem resep elektronik yang dilengkapi clinical decision support, serta layanan kesehatan jarak jauh (telemedicine), memungkinkan pemantauan obat secara real-time dan intervensi lebih cepat.
Dengan dukungan teknologi ini, pengobatan bisa disesuaikan dengan karakteristik unik setiap pasien. Pendekatan ini membuat terapi lebih personal, efektif, dan aman.
Kesimpulannya, polypharmacy pada lansia merupakan tantangan kompleks dengan dampak besar terhadap kesehatan dan biaya perawatan. Meski sering kali tak terhindarkan karena banyaknya penyakit kronis yang diderita, penggunaan banyak obat perlu dikelola dengan bijak. Melalui evaluasi menyeluruh, strategi deprescribing, kolaborasi antarprofesi, dan pemanfaatan teknologi, risiko polypharmacy dapat ditekan. Yang lebih penting, lansia bisa menikmati hidup yang lebih sehat, mandiri, dan berkualitas.