Hi lykkers! Seperti yang kita tahu, tahun 2025 Jakarta dipenuhi deretan pencakar langit baru yang menghiasi skyline, MRT melesat di bawah tanah, dan aplikasi transportasi terintegrasi bisa diakses dalam satu genggaman.


Tapi coba tengok kembali mimpi awal Ibu Kota ini. Di era 1960-an, Soekarno membayangkan Jakarta sebagai "kota mercusuar" Asia, menjadi ibu kota yang megah dan modern.


Di tahun 2000-an, gencar diwacanakan "kota tanpa macet" lewat Busway dan electronic road pricing.


Nyatanya? Kemacetan justru makin kronis, ruang terbuka hijau kian terdesak. Lantas, di tengah gegap gempitanya pembangunan mutakhir ini, adakah ruang untuk napas warga biasa? Apakah transformasi ini mengarah pada kota yang manusiawi atau sekadar ilusi kemajuan?


Paradoks Ibu Kota: Dua Wajah Jakarta 2025


Jakarta di tahun 2025 ini bagaikan koin bermuka dua, di satu sisi Jakarta memamerkan taman terapung dan stasiun futuristik, di sisi lain memperlihatkan ibu-ibu yang menutup hidung dari polusi sambil menyebrang di trotoar sempit. Tapi di balik paradoks ini, Jakarta tak sepenuhnya lupa pada manusianya. Upaya memanusiawikan kota ini nyata: dari perluasan jalur pejalan kaki hingga kebijakan ruang publik inklusif.


Jika pembangunan infrastruktur adalah tulang punggung kota, maka ruang hidup yang layak adalah napasnya. Tahun 2025 menjadi ujian hakiki: sejauh mana terobosan teknis mampu mengubah efisiensi jadi kenyamanan?


Upaya Nyata: Langkah Jakarta Memanusiawikan Kota


Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, di tengah paradoks kemacetan dan pembangunan di Jakarta, Jakarta tak sepenuhnya melupakan janjinya sebagai kota manusiawi. Upaya sistematis dilakukan untuk menempatkan warga sebagai pusat pembangunan.


Seperti revitalisasi Taman Waduk Pluit yang kini ramai keluarga muda berkumpul, pembangunan ruang publik interaktif seperti Taman Literasi Martha Christina Tiahahu yang memudahkan pengunjung mengakses literasi melalui perpustakaan yang dilengkapi dengan pendingin ruangan, hal-hal tersebut membuktikan upaya Jakarta untuk memanusiawikan Kota Jakarta.


Selain itu, kebijakan perluasan pedestrianisasi di kawasan Kota Tua yang nantinya akan menjadi plaza pedestrian yang lebar sebagai bentuk penataan kawasan Kota Tua yang rendah emisi dan destinasi pariwisata bersejarah. Lalu penanaman sebanyak total 10.474 pohon di RTH (Ruang Terbuka Hijau) dan jalur hijau untuk menghijaukan Kota Jakarta.


Hal-hal tersebut juga menjadi terobosan nyata Kota Jakarta. Meski belum merata, langkah ini menunjukkan kesadaran baru: modernisasi tanpa humanisme adalah kemajuan yang pincang.


Penutup


Di tahun 2025 ini, Jakarta mungkin belum jadi "kota mercusuar" impian Soekarno, atau "surga bebas macet" yang dijanjikan era 2000-an. Tapi dalam retakan-retakan betonnya, kita melihat tunas harapan. Kesadaran bahwa mercusuar sejati bukanlah lampu gedung, melainkan cahaya keadilan yang menyentuh semua sudut kota.


Pertanyaannya kini bukan "Jakarta 2025: modern, macet, atau manusiawi?", melainkan "Jakarta 2030: mau dibawa ke mana?". Selain itu perlu kita ingat juga Kota yang manusiawi tak lahir dari proyek pemerintah semata, ia dimulai dari tindakan kecil kita, seperti diam melihat trotoar jadi parkiran liar, sungai kotor, dll, atau bersuara. Karena Jakarta yang manusiawi bukanlah takdir — tetapi sebuah keputusan.


Soekarno pernah berpesan: "Beri aku ruang untuk rakyat kecil, maka kau akan melihat Jakarta bernyawa." Kini, ruang itu makin menyempit. Tapi selama kita masih peduli pada Kota Jakarta, selama itu pula jiwa Jakarta tak akan mati.