Pernah punya keinginan untuk liburan, tapi malah makin stres karena jadwal yang terlalu padat?
Mulai dari bangun pagi demi ngejar sunrise, sampai buru-buru pindah kota demi foto di spot populer, banyak yang justru pulang liburan dengan tubuh dan pikiran yang kelelahan.
Inilah alasan mengapa kini semakin banyak orang beralih ke gaya liburan yang lebih santai dan penuh makna: slow travel.
Alih-alih terburu-buru mengunjungi puluhan tempat, slow travel mengajak Anda untuk tinggal lebih lama di satu destinasi, menyelami budaya lokal, dan benar-benar menikmati perjalanan, bukan sekadar mengejar foto atau checklist.
Apa Itu Slow Travel Sebenarnya?
Slow travel bukan berarti harus berjalan lambat. Lebih dari itu, ini adalah cara berpikir dan merasakan perjalanan.
Fokusnya bukan pada seberapa banyak tempat yang dikunjungi, tapi seberapa dalam Anda mengalami sebuah tempat.
Beberapa ciri khas slow travel antara lain:
- Menginap di rumah warga atau penginapan lokal yang penuh kehangatan
- Menetap selama berminggu-minggu di satu kota
- Menggunakan transportasi darat seperti kereta atau bus, bukan selalu naik pesawat
- Berbelanja bahan makanan di pasar lokal dan memasak sendiri
- Belajar bahasa lokal, meski hanya kalimat sederhana
- Ikut serta dalam aktivitas komunitas, seperti kelas kerajinan atau memasak
Gaya perjalanan ini makin populer setelah pandemi, saat banyak orang mulai mencari ketenangan dan pengalaman yang lebih mendalam serta ramah lingkungan.
1. Kyoto, Jepang – Bukan Sekadar Destinasi Foto
Kyoto sering jadi tujuan singkat para pelancong. Dua hari, keliling kuil, foto sebentar, lalu pindah kota. Padahal, kota ini menyimpan pesona tersembunyi yang hanya bisa ditemukan jika tinggal lebih lama.
- Akomodasi: Rumah tradisional machiya, harga mulai dari Rp1,6 juta/malam
- Transportasi: Kereta Shinkansen dari Tokyo, waktu tempuh 2,5 jam (sekitar Rp1,7 juta sekali jalan)
- Waktu ideal: Oktober–November (musim gugur) atau Maret–April (bunga sakura)
Rekomendasi slow travel di Kyoto:
- Kunjungi kuil-kuil kecil yang tak terlalu ramai
- Belanja bahan lokal di Nishiki Market dan coba memasak sendiri di penginapan
-Berjalan kaki atau bersepeda menyusuri jalan kecil di Arashiyama, bukan hanya ke hutan bambunya
2. Tuscany, Italia – Rasakan Hidup Ala Pedesaan
Daripada berpindah kota tiap dua hari, cobalah tinggal di desa kecil di Tuscany dan nikmati hidup santai ala pedesaan Eropa.
- Penginapan: Agriturismo (penginapan pertanian) dengan harga Rp1,3–2 juta/malam, sering sudah termasuk makanan lokal
- Waktu terbaik: Mei–Juni atau September–Oktober (cuaca nyaman dan lebih sepi)
- Akses: Terbang ke Florence atau Pisa, lalu sewa mobil untuk menjelajahi desa-desa
Aktivitas seru ala slow travel:
- Ikut kelas membuat pasta dari warga setempat (biaya sekitar Rp1,1 juta)
- Cicipi produk khas seperti keju dan minyak zaitun di pasar mingguan
- Ngobrol santai dengan petani dan belajar kehidupan mereka
- Hadiri acara desa seperti panen anggur atau festival makanan
Menghabiskan waktu 2 minggu di Tuscany bisa memberi pengalaman yang jauh lebih kaya dibandingkan liburan kilat selama 3 hari.
3. Chiang Mai, Thailand – Surga Pelancong Jangka Panjang
Chiang Mai sudah lama jadi tempat favorit bagi traveler yang ingin hidup tenang tapi tetap penuh warna. Biaya hidup yang terjangkau dan budaya lokal yang kuat jadi daya tarik utamanya.
- Penginapan: Guesthouse atau apartemen lokal mulai dari Rp250–800 ribu/malam
- Musim terbaik: November–Februari (cuaca cerah dan sejuk)
- Akses: Penerbangan dari Bangkok (sekitar Rp800 ribu–1 juta pulang pergi)
Hal menarik yang bisa dilakukan:
- Ikut kursus memasak masakan Thailand (Rp500–800 ribu per kelas)
- Kegiatan sukarela di tempat perlindungan hewan lokal
- Jalan-jalan ke desa-desa di kaki gunung
- Mengikuti retret kesehatan atau yoga mingguan (mulai dari Rp1,6 juta/minggu)
Ingin lebih bebas? Sewa skuter seharga Rp130 ribu per hari dan jelajahi pinggiran kota Chiang Mai dengan kecepatan Anda sendiri.
Kenapa Slow Travel Layak Dicoba?
Karena liburan tak harus terburu-buru.
Gaya perjalanan ini tidak hanya mengurangi jejak karbon dengan lebih sedikit penerbangan, tapi juga memberikan kontribusi nyata untuk ekonomi lokal.
Ketika tinggal lebih lama, Anda punya waktu untuk benar-benar berinteraksi dengan masyarakat setempat, belanja di warung kecil, dan menciptakan pengalaman yang tak bisa dibeli dengan uang.
Secara pribadi, slow travel memberi ruang untuk bernapas, mengenal budaya secara langsung, dan meninggalkan kesan yang jauh lebih dalam dibanding liburan super cepat.
Mau Mulai Slow Travel? Ini Cara Mudahnya:
- Pilih satu tempat saja untuk satu perjalanan
- Cari akomodasi lokal yang memberikan sentuhan budaya
- Jangan isi itinerary terlalu padatsis, akan waktu untuk spontanitas
- Aktif terlibat dalam kegiatan warga sekitar
- Bawa barang secukupnya dan pilih cara perjalanan yang ramah lingkungan
Dunia punya banyak cerita. Tapi hanya bisa didengar oleh mereka yang meluangkan waktu untuk mendengarkannya.
Apakah Anda siap meninggalkan gaya liburan terburu-buru dan memilih untuk benar-benar hidup di tempat yang dikunjungi?
Bagikan cerita atau destinasi impian Anda, siapa tahu, slow travel adalah jawaban dari liburan yang selama ini dicari.