Memasuki pertengahan 2025, kekhawatiran akan resesi semakin menghantui para ekonom, pelaku bisnis, dan investor di seluruh dunia.


Meskipun perlambatan ekonomi merupakan bagian dari siklus alami, kekhawatiran kali ini muncul dari perpaduan kompleks antara inflasi yang masih membandel, kebijakan moneter yang ketat, ketidakpastian global, dan perubahan perilaku konsumen yang tajam.


Inflasi Tak Kunjung Reda, Bunga Tinggi Menahan Nafas Ekonomi


Meskipun inflasi telah menurun dibandingkan puncaknya di tahun 2022, angka inflasi saat ini masih bertahan di kisaran 3%, jauh di atas target 2% yang ditetapkan oleh Federal Reserve. Kondisi ini membatasi ruang gerak otoritas moneter untuk melonggarkan kebijakan suku bunga. Dalam upaya menahan laju inflasi, suku bunga terus dinaikkan hingga mencapai level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.


Namun, kebijakan ini datang dengan konsekuensi yang signifikan. Biaya pinjaman bagi konsumen dan pelaku usaha melonjak tajam. Rumah tangga menjadi lebih berhati-hati dalam berbelanja, sementara perusahaan memilih menunda ekspansi akibat mahalnya biaya pembiayaan. Semua ini berdampak pada perlambatan ekonomi yang semakin terasa.


Tarif Impor Naik, Dunia Usaha Kian Terjepit


Peningkatan bea masuk atas berbagai barang impor tertentu membuat pelaku usaha harus merogoh kocek lebih dalam. Kebijakan tarif baru 25% untuk beberapa impor regional dan tambahan 10% untuk barang-barang tertentu dari luar negeri telah menyebabkan lonjakan harga bahan baku.


Kondisi ini tidak hanya memicu tekanan inflasi, tetapi juga mengganggu rantai pasokan global dan menggerus kepercayaan pelaku usaha. Akibatnya, banyak perusahaan memilih untuk menahan rencana investasi dan membatasi rekrutmen karyawan. Situasi ini menimbulkan efek domino yang dapat memperlambat roda perekonomian lebih jauh.


Gejolak Global dan Dampaknya terhadap Rantai Pasokan


Berbagai ketidakpastian global masih menjadi momok yang menyulitkan perencanaan bisnis secara keseluruhan. Sektor energi dan bahan baku menghadapi lonjakan harga dan kelangkaan suplai. Efeknya menjalar ke berbagai industri, dari manufaktur hingga logistik yang kini harus menghadapi bottleneck tak terduga.


Kondisi ini menyebabkan biaya produksi melonjak dan perencanaan bisnis menjadi semakin tidak menentu. Perusahaan kesulitan menjaga kestabilan operasional, sementara konsumen mulai kehilangan rasa percaya diri terhadap prospek ekonomi ke depan.


Permintaan Konsumen Tidak Stabil, Utang Rumah Tangga Mengkhawatirkan


Salah satu sinyal utama dari kesehatan ekonomi adalah perilaku konsumen. Sayangnya, sepanjang awal 2025, indikator kepercayaan konsumen menurun drastis. Indeks harapan masyarakat terhadap masa depan ekonomi mencatat level terendah dalam lebih dari 10 tahun terakhir.


Banyak keluarga kini dibebani cicilan tinggi akibat suku bunga yang meningkat. Dengan pendapatan yang tidak naik secara signifikan, anggaran bulanan pun menjadi lebih ketat. Pengeluaran untuk hiburan, liburan, dan kebutuhan non-prioritas mulai dikurangi. Jika tren ini terus berlangsung, permintaan di sektor ritel, jasa, dan transportasi akan mengalami kontraksi, dan ini bisa menjadi pemicu perlambatan ekonomi yang lebih serius.


Mark Zandi, seorang ekonom ternama, menyatakan bahwa ekonomi sangat mungkin mengalami kontraksi jika kebijakan tarif yang telah diumumkan tetap diberlakukan dalam waktu yang lama.


Suara dari Dunia Usaha: Ketakutan Meningkat di Kalangan Pelaku Bisnis


Pelaku dunia usaha kini mulai menunjukkan sikap waspada. Dalam survei terbaru, sekitar 60% CFO (Chief Financial Officer) memperkirakan bahwa resesi akan terjadi sebelum akhir 2025. Mereka menyebut inflasi, permintaan konsumen yang fluktuatif, serta ketidakpastian kebijakan perdagangan sebagai penyebab utama.


Usaha kecil juga tak luput dari tekanan. Pelaku UMKM, khususnya di sektor jasa, mulai melaporkan penurunan omzet, keengganan ekspansi, dan kekhawatiran terhadap masa depan usaha mereka. Indeks optimisme bisnis kecil yang dirilis oleh NFIB pun ikut turun.


Pasar Keuangan: Hati-Hati tapi Belum Panik


Meski banyak sinyal negatif muncul dari sektor riil, pasar keuangan tampak sudah memperhitungkan kemungkinan buruk. Sentimen pesimistis sudah cukup tinggi, yang secara historis justru dapat mengurangi risiko gejolak besar di pasar saham. Indeks kondisi saat ini dari Universitas Michigan tetap berada di level rendah, menandakan bahwa investor telah bersikap hati-hati.


Menariknya, stabilitas sektor perbankan masih relatif terjaga. Tidak ada tanda-tanda gangguan besar seperti yang terjadi pada krisis keuangan tahun 2008. Ini menjadi salah satu faktor penyangga yang penting di tengah badai ketidakpastian ekonomi saat ini.


Tahun 2025 diwarnai oleh ketegangan ekonomi yang nyata. Kombinasi antara inflasi tinggi, suku bunga mahal, utang konsumen yang menumpuk, ketidakpastian perdagangan, dan gangguan global menciptakan tekanan besar bagi perekonomian. Meskipun belum dapat dipastikan bahwa resesi akan terjadi, risiko ke arah itu semakin tinggi.