Di balik kemajuan dunia medis, ada ancaman senyap yang kian mengkhawatirkan: resistensi antimikroba (AMR). Mikroorganisme penyebab infeksi kini berkembang lebih cepat daripada perkembangan obat baru. Akibatnya, terapi yang dulu ampuh, sekarang tak lagi menjamin kesembuhan.


Memasuki tahun 2024, resistensi antimikroba telah diakui secara global sebagai salah satu masalah kesehatan paling serius. Dampaknya terasa di semua lini, dari fasilitas kesehatan besar hingga pelayanan dasar di daerah terpencil. Tantangan utamanya bukan hanya soal menemukan antibiotik baru, tetapi menjaga agar yang ada tetap efektif.


Kunci Sukses Program Stewardship: Lebih dari Sekadar Mengurangi Antibiotik


Pengelolaan antimikroba bukan hanya soal mengurangi resep antibiotik. Program ini merupakan pendekatan strategis dan terkoordinasi untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien, menekan efek samping, dan yang paling penting, menghambat laju resistensi.


Daripada mengandalkan tebakan atau penggunaan antibiotik spektrum luas secara sembarangan, program ini menekankan terapi yang tepat sasaran. Biasanya, keputusan terapi didasarkan pada hasil kultur mikroba dan uji sensitivitas, sehingga pengobatan menjadi lebih akurat dan efektif.


Langkah Pertama: Diagnosis yang Tepat, Bukan Langsung Obat


Salah satu penyebab utama penggunaan antibiotik yang tidak perlu adalah diagnosis yang tidak pasti. Karena gejalanya mirip-mirip, banyak tenaga medis memilih menggunakan antibiotik sebagai langkah pencegahan.


Namun pada 2025, pendekatan ini mulai ditinggalkan. Teknologi diagnostik cepat seperti multiplex PCR dan MALDI-TOF kini menjadi standar baru. Alat ini mampu mengidentifikasi penyebab infeksi dalam hitungan jam, memungkinkan dokter memberikan pengobatan yang spesifik sejak awal, tanpa harus menebak-nebak.


Kolaborasi Multidisipliner: Tim Ahli di Balik Keputusan


Pengelolaan antibiotik yang efektif tidak mungkin dijalankan oleh satu profesi saja. Program yang sukses biasanya melibatkan tim yang terdiri dari dokter spesialis penyakit infeksi, ahli mikrobiologi klinik, apoteker terlatih di bidang infeksi, serta petugas pengendalian infeksi.


Tim ini menganalisis pola penggunaan antibiotik, memberikan rekomendasi, dan memantau tren resistensi bakteri melalui sistem digital seperti NHSN. Ini bukan sekadar kerja administratif, tapi strategi penyelamatan jangka panjang.


Teknologi Canggih: Kecerdasan Buatan Hadir Membantu


Kabar baiknya, kini pengelolaan antibiotik semakin canggih berkat teknologi. Sistem AI (Artificial Intelligence) sudah mulai digunakan untuk memproses data medis dalam jumlah besar dan memberikan saran pengobatan yang dipersonalisasi.


Di tahun 2025, banyak rumah sakit sudah mengintegrasikan sistem Electronic Health Record (EHR) dengan alat pendukung keputusan klinis (Clinical Decision Support Tools/CDSTs). Sistem ini bisa memberikan peringatan otomatis jika terjadi duplikasi terapi, dosis yang salah, atau penggunaan antibiotik yang terlalu lama.


Target Khusus: Waspada Terhadap Patogen Paling Berbahaya


Tidak semua bakteri menimbulkan ancaman yang sama. Program ASP kini menaruh perhatian besar pada bakteri yang sudah kebal terhadap berbagai jenis antibiotik, seperti CRE (Carbapenem-resistant Enterobacterales), bakteri penghasil ESBL, dan Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap banyak obat.


Infeksi Clostridioides difficile juga jadi fokus utama, karena sering muncul akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak. Menurunkan angka infeksi ini kini menjadi tolok ukur kesuksesan banyak rumah sakit.


Strategi Khusus untuk ICU dan Operasi


Pasien di unit perawatan intensif (ICU) dan ruang bedah sering kali jadi kelompok berisiko tinggi. Di ICU, pasien sering kali diberikan antibiotik spektrum luas secara cepat karena risiko sepsis. Namun kini, pendekatan berbasis biomarker seperti prokalsitonin digunakan untuk membantu menghentikan terapi yang tidak diperlukan tanpa membahayakan pasien.


Dalam konteks pembedahan, pemberian antibiotik profilaksis kini mengikuti pedoman ketat: pemilihan jenis antibiotik, waktu pemberian, dan durasinya dikendalikan dengan ketat. Banyak rumah sakit hanya memberikan satu dosis sebelum sayatan, kecuali jika ada bukti kuat untuk memperpanjang.


Mengubah Kebiasaan Melalui Edukasi


Keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada panduan tertulis. Dibutuhkan perubahan perilaku. Banyak rumah sakit kini rutin melakukan audit resep, memberikan umpan balik kepada dokter, dan bahkan menyediakan pelatihan khusus melalui sesi akademik.


Evaluasi Kinerja: Lebih dari Sekadar Jumlah Obat


Indikator keberhasilan program stewardship kini lebih luas. Tidak cukup hanya menghitung jumlah antibiotik yang digunakan (misalnya melalui DDD atau DOT). Kini, aspek seperti angka kematian terkait infeksi, kegagalan pengobatan, dan tingkat rawat ulang pasien ikut menjadi tolok ukur keberhasilan.


Program pengelolaan antimikroba bukan lagi inisiatif tambahan, melainkan komponen utama dalam sistem pelayanan kesehatan modern. Ketika pola resistensi berubah dan teknologi diagnostik semakin maju, peran program ini pun terus berkembang. Dengan mengintegrasikan prinsip stewardship ke dalam budaya klinis, fasilitas kesehatan tidak hanya menjaga efektivitas terapi yang ada, tetapi juga meningkatkan keselamatan pasien dan kualitas layanan secara keseluruhan.