Albinisme, khususnya jenis oculocutaneous albinism (OCA), merupakan kondisi genetik langka yang menyebabkan berkurangnya atau bahkan tidak adanya produksi melanin—zat pigmen yang memberikan warna pada kulit, rambut, dan mata.


Meskipun perubahan warna tubuh sering kali paling terlihat, dampak paling besar dari albinisme justru terletak pada gangguan penglihatan yang bisa berlangsung seumur hidup.


Apa Itu Oculocutaneous Albinism dan Mengapa Bisa Terjadi?


OCA terjadi akibat mutasi pada beberapa gen penting, seperti TYR, OCA2, TYRP1, dan SLC45A2. Mutasi ini memengaruhi enzim dan protein yang terlibat dalam pembentukan melanin. Tanpa cukup melanin, struktur dan fungsi mata mengalami gangguan selama masa perkembangan.


Secara global, diperkirakan 1 dari 17.000 hingga 20.000 bayi lahir dengan kondisi ini. Namun, di beberapa wilayah seperti sub-Sahara Afrika, khususnya di Tanzania, angka kejadiannya bisa jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 1 dari 1.400 kelahiran.


Fovea Tidak Berkembang Sempurna: Akar Masalah Penglihatan Tajam


Salah satu kelainan utama pada mata penderita albinisme adalah tidak sempurnanya perkembangan fovea, yaitu bagian tengah retina yang berperan besar dalam penglihatan detail dan tajam. Pada mata normal, fovea berkembang dengan pemadatan sel kerucut (cone cells) dan pergeseran lapisan retina bagian dalam. Namun pada individu dengan albinisme, proses ini terganggu sehingga fovea tetap dalam keadaan tidak matang.


Teknologi canggih seperti Optical Coherence Tomography (OCT) memungkinkan deteksi dini foveal hypoplasia. Sebuah studi tahun 2023 oleh Dr. Kathryn P. Farsiu menunjukkan bahwa tingkat keterbelakangan fovea sangat berkorelasi dengan penurunan ketajaman penglihatan, bahkan lebih signifikan dibandingkan tingkat pigmentasi.


Gerakan Mata Tak Terkendali: Nystagmus dan Masalah Fokus


Sejak bayi, banyak penderita albinisme menunjukkan gejala nystagmus, gerakan mata bolak-balik secara ritmis yang tidak disengaja. Biasanya gerakannya bersifat horizontal dan muncul sebagai kompensasi karena tidak adanya titik fokus yang stabil di retina.


Teknologi pelacak mata terbaru menunjukkan bahwa refleks visual otomatis (refleks optokinetik) berkembang lebih lambat pada anak dengan albinisme. Penelitian tahun 2024 yang dipimpin oleh Dr. Robert L. Hess mengungkapkan bahwa rehabilitasi visual dini seperti penggunaan prisma khusus dan stimulasi visual bayi dapat membantu meningkatkan stabilitas pandangan dengan memanfaatkan masa plastisitas otak anak.


Gangguan Jalur Saraf Penglihatan: Masalah di Tingkat Otak


Salah satu ciri unik lain dari albinisme adalah gangguan pada jalur saraf mata menuju otak. Biasanya, sekitar 53% serabut saraf dari retina menyilang ke sisi otak yang berlawanan. Namun pada penderita albinisme, persentase ini bisa meningkat hingga 90%, menyebabkan gangguan pada pemrosesan visual dan penurunan kemampuan penglihatan binokular (dua mata bekerja bersama).


Sensitivitas Terhadap Cahaya: Akibat Kurangnya Pigmen di Iris dan Retina


Sensitivitas terhadap cahaya (fotofobia) adalah keluhan yang hampir selalu dialami oleh penderita albinisme. Hal ini disebabkan oleh iris mata yang lebih tembus cahaya dan kurangnya pigmen di lapisan retina yang seharusnya menyerap cahaya masuk. Akibatnya, cahaya menjadi lebih menyilaukan dan sulit dikendalikan oleh mata.


Namun, penggunaan lensa khusus dengan filter cahaya seperti FL-41 terbukti efektif dalam mengurangi gejala ini dan meningkatkan kenyamanan visual, terutama saat berada di lingkungan terang atau berkendara di siang hari.


Harapan Baru di Masa Depan: Terapi Genetik dan Rehabilitasi Visual


Walaupun saat ini belum ada pengobatan yang benar-benar dapat menyembuhkan gangguan penglihatan akibat albinisme, berbagai upaya sedang dilakukan. Penelitian terapi gen untuk memperbaiki mutasi pada gen TYR dan OCA2 tengah berkembang. Teknologi pengeditan gen seperti CRISPR-Cas9 menunjukkan hasil menjanjikan pada model hewan, meski aplikasinya pada manusia masih dalam tahap awal.


Beberapa pendekatan juga mencoba meningkatkan produksi melanin dengan suplemen seperti L-DOPA, namun hasilnya belum konsisten dan masih dalam tahap uji coba. Di sisi lain, pendekatan precision medicine mulai diterapkan untuk merancang strategi pengobatan yang disesuaikan dengan profil genetik tiap individu.


Gangguan mata akibat albinisme bukan sekadar masalah kosmetik, tetapi menyangkut aspek neurodevelopmental dan struktural yang kompleks. Oleh karena itu, deteksi dini dan intervensi tepat sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Dengan kemajuan teknologi, kolaborasi antara pakar mata, ahli genetika, dan neurolog dapat membuka jalan menuju terapi yang lebih efektif di masa depan.