Dalam dunia keuangan, ada sebuah prinsip klasik yang sering dipegang teguh oleh para pelaku pasar: “pasar selalu benar.” Prinsip ini mencerminkan keyakinan bahwa harga suatu aset di pasar mencerminkan seluruh informasi yang tersedia saat itu.


Gagasan ini berasal dari teori Efficient Market Hypothesis (EMH) yang dikembangkan oleh Eugene Fama, yang menyatakan bahwa tidak ada investor yang bisa secara konsisten mengalahkan pasar tanpa mengambil risiko tambahan.


Namun, fenomena-fenomena pasar belakangan ini, dari saham meme hingga volatilitas kripto, membuat banyak ekonom mempertanyakan kembali premis tersebut. Apakah benar pasar mencerminkan semua data yang tersedia, ataukah ia juga dipengaruhi oleh emosi, siklus media, dan perilaku kelompok?


Antara Efisiensi Pasar dan Emosi Massal


Secara teori, pasar memang dianggap efisien. Namun, pendekatan behavioral finance menawarkan sudut pandang yang lebih kompleks. Para peneliti seperti peraih Nobel Robert Shiller menunjukkan bahwa pelaku pasar kerap bertindak tidak rasional. Bias psikologis seperti rasa percaya diri berlebihan, ketakutan tertinggal (FOMO), serta mentalitas ikut-ikutan dapat mempengaruhi pergerakan harga.


Contohnya, selama lonjakan pasar tahun 2020–2021, banyak aset mengalami kenaikan harga yang jauh melebihi nilai fundamentalnya. Lonjakan ini bukan berdasarkan proyeksi arus kas atau kinerja perusahaan, melainkan pada dorongan sosial dan narasi spekulatif. Ketika harga melambung bukan karena kinerja nyata, apakah pasar masih bisa dianggap “benar”?


Kebisingan Jangka Pendek vs Koreksi Jangka Panjang


Pasar dalam jangka pendek bisa sangat bising. Harga bisa berubah hanya karena pernyataan politisi atau proyeksi ekonomi yang belum tentu akurat. Bahkan, satu unggahan media sosial bisa menyebabkan lonjakan atau penurunan harga dalam hitungan menit. Hal ini menandakan bahwa keputusan spontan sering kali mengalahkan analisis yang rasional.


Namun dalam jangka panjang, pasar biasanya kembali ke titik keseimbangan. Harga yang tidak mencerminkan nilai riil tidak akan bertahan selamanya. Investor yang berpegang pada analisis fundamental akan membantu mengembalikan harga ke jalurnya. Inilah dualitas pasar: tidak stabil dalam waktu singkat, namun cenderung stabil dalam jangka panjang. Fakta ini membuat pertanyaan tentang “kebenaran” pasar menjadi semakin kompleks.


Ketimpangan Informasi di Balik Harga


Satu aspek penting yang sering luput dari perhatian dalam perdebatan ini adalah ketimpangan informasi. Tidak semua pelaku pasar memiliki akses informasi yang sama atau kemampuan analisis yang setara. Investor institusional besar mungkin menggunakan data dan riset mendalam, sementara investor ritel sering kali mengandalkan informasi yang terlambat atau bahkan tidak lengkap.


Profesor Aswath Damodaran dari NYU Stern pernah menyatakan bahwa pasar itu efisien, tapi hanya sejauh pelakunya bersikap rasional dan informasi tersebar merata, yang sayangnya jarang terjadi. Artinya, sebagian harga mencerminkan keputusan yang cerdas, sementara sebagian lainnya hanyalah hasil dari spekulasi tanpa dasar yang kuat.


Kecerdasan Buatan dan Analisis Sentimen


Perkembangan teknologi turut mengubah wajah pasar. Dengan hadirnya sistem perdagangan berbasis AI dan analisis sentimen publik, pasar kini bergerak lebih cepat dan lebih luas. Algoritma bisa menganalisis ribuan berita, unggahan media sosial, dan opini publik dalam sekejap. Namun, kecepatan ini tidak selalu berarti akurasi. Kadang, sinyal emosi yang salah terbaca bisa memicu aksi jual atau beli otomatis yang memicu lonjakan harga yang tidak rasional. Dalam kasus seperti ini, pasar memang responsif, tapi tidak otomatis “benar”.


Kesalahan Pasar, Peluang Bagi Investor Cermat


Menariknya, ketidaksempurnaan pasar justru membuka peluang. Jika pasar selalu benar, maka tidak akan ada ruang bagi investor untuk meraih keuntungan lebih (alpha). Investor legendaris seperti Benjamin Graham membangun filosofi investasinya berdasarkan keyakinan bahwa pasar bisa salah. Strategi nilai (value investing) lahir dari pencarian aset yang dihargai lebih rendah dari nilai sebenarnya.


Investor modern seperti Howard Marks juga berpegang pada gagasan serupa. Menurutnya, pasar memang sering mencerminkan realitas, tetapi kadang melebihkan atau meremehkan risiko karena emosi kolektif. Di sinilah pentingnya ketelitian, pengetahuan, dan kesabaran dalam melihat celah antara harga dan nilai sejati.


Apakah Pasar Selalu Benar?


Jawaban dari pertanyaan ini tergantung dari sudut pandang Anda. Dalam teori, harga mencerminkan informasi yang tersedia. Namun dalam praktik, pasar sering kali mencerminkan reaksi emosional dan narasi yang terus berubah. Pasar bukanlah peramal mutlak, melainkan sebuah arena dinamis yang dipenuhi sinyal, sebagian jernih, sebagian kabur.


Menyadari bahwa pasar tidak sempurna justru bisa menjadi kekuatan. Hal ini mengingatkan kita untuk tidak selalu mengikuti arus tanpa berpikir. Pasar memang bisa menyesatkan, namun ia juga punya cara untuk memperbaiki diri. Memahami kapan pasar melenceng, dan mengapa hal itu terjadi, adalah keterampilan penting dalam dunia keuangan masa kini.


Mengandalkan pasar sepenuhnya bisa membuat Anda bertindak reaktif. Namun, jika sinyal pasar dikombinasikan dengan analisis yang kuat dan strategi yang cermat, hasilnya bisa jauh lebih bijak. Pada akhirnya, pasar mungkin tidak selalu benar, tapi pengaruhnya tidak bisa diabaikan. Tantangan terbesar bagi investor adalah mengetahui kapan mengikuti pasar, dan kapan berpikir melampaui arusnya.