Relapsing Polychondritis (RP) adalah penyakit autoimun langka yang menyerang jaringan kartilago dan jaringan ikat lainnya di seluruh tubuh. Kondisi ini bersifat kronis, progresif, dan sering kali sulit dikenali sejak awal karena gejalanya yang datang dan pergi serta meniru berbagai penyakit lain.
RP bisa menyerang berbagai organ, mulai dari telinga, hidung, saluran pernapasan, persendian, hingga mata dan sistem kardiovaskular.
Apa Itu Relapsing Polychondritis Sebenarnya?
RP ditandai dengan peradangan berulang pada jaringan kartilago, yang dapat merusak struktur dan fungsi organ secara permanen. Sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan kartilago sendiri, menyebabkan rasa nyeri, pembengkakan, hingga kerusakan jangka panjang. Biasanya, kartilago pada telinga luar dan hidung menjadi sasaran utama, tetapi dalam banyak kasus, peradangan juga menjalar ke trakea dan bronkus, yang bisa menyebabkan gangguan pernapasan serius.
Menurut Dr. Marcela Ferrada dari National Institutes of Health (NIH), sekitar 50% pasien RP mengalami gangguan saluran napas yang bisa menimbulkan komplikasi serius bahkan kematian jika tidak ditangani dengan baik.
Gejala Utama dan Perjalanan Penyakit
Pada tahap awal, gejala RP sering kali tampak ringan dan tidak mencolok. Beberapa pasien mungkin hanya merasakan kemerahan dan nyeri pada satu atau kedua telinga, kecuali daun telinga (karena tidak mengandung kartilago). Seiring waktu, gejala bisa berkembang menjadi lebih serius, antara lain:
- Radang hidung (kondritis nasal), yang dapat menyebabkan deformitas "saddle nose"
- Suara serak atau sesak napas akibat peradangan trakea
- Nyeri sendi mirip artritis
- Radang mata seperti skleritis atau uveitis
- Gangguan pendengaran atau sensasi vertigo
Karena gejalanya sangat bervariasi dan menyerupai penyakit lain, banyak kasus RP yang terlambat didiagnosis.
Apa Penyebab RP dan Bagaimana Mekanisme Autoimunnya?
Meskipun penyebab pasti RP belum sepenuhnya dipahami, para peneliti meyakini bahwa penyakit ini terkait erat dengan gangguan sistem kekebalan. Terdapat dugaan bahwa sistem imun menyerang kolagen tipe II, komponen utama kartilago melalui aktivitas sel T dan antibodi autoimun.
Penelitian yang diterbitkan dalam Nature Reviews Rheumatology tahun 2023 menemukan hubungan antara alel HLA-DR4 dan peningkatan risiko RP, menandakan adanya faktor genetik yang berperan. Dr. Joshua Dunaief dari University of Pennsylvania menyatakan bahwa penyakit ini menjadi contoh nyata bagaimana disfungsi sistem imun bisa menyerang jaringan tertentu secara selektif.
Diagnosis: Menyusun Potongan Teka-teki Klinis
Tidak ada tes tunggal yang dapat secara pasti mendiagnosis RP, sehingga dibutuhkan kombinasi dari evaluasi fisik, riwayat medis, pencitraan, dan terkadang biopsi kartilago yang terpengaruh. Salah satu kemajuan penting adalah penggunaan FDG-PET/CT, yang mampu mendeteksi peradangan sub-klinis pada kartilago, terutama bermanfaat dalam kasus yang sulit dikenali.
Penelitian juga tengah mengembangkan biomarker seperti autoantibodi terhadap kartilago untuk membantu proses diagnosis, meskipun masih dalam tahap investigasi.
Terobosan Pengobatan dan Pendekatan Modern
Pengobatan RP sangat bergantung pada tingkat keparahan dan organ yang terlibat. Untuk kasus ringan, obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) bisa cukup efektif. Namun, pada kasus yang lebih berat, diperlukan terapi dengan kortikosteroid sistemik atau agen imunosupresif seperti metotreksat atau azatioprin.
Terapi biologis seperti penghambat TNF dan interleukin-6 telah menunjukkan hasil positif dalam kasus yang sulit diobati. Studi dari Journal of Autoimmunity tahun 2024 menyoroti efektivitas tocilizumab dalam mengurangi frekuensi flare dan peradangan pada saluran napas.
Dalam kondisi darurat seperti kolaps saluran napas, tindakan medis seperti pemasangan stent trakea atau operasi rekonstruksi bisa menjadi solusi penyelamat nyawa.
Dampak Psikososial: Lebih dari Sekadar Penyakit Fisik
RP bukan hanya berdampak pada tubuh, tapi juga pada kondisi emosional dan sosial penderitanya. Rasa sakit kronis, perubahan bentuk wajah, dan keterbatasan aktivitas bisa memicu kecemasan, depresi, dan isolasi sosial. Oleh karena itu, dukungan psikologis dan kelompok pendukung sangat disarankan sebagai bagian dari rencana pengobatan.
Kemajuan dalam bidang genomik dan pengobatan personalisasi memberikan harapan baru. Uji klinis terkini tengah mengevaluasi efektivitas inhibitor JAK dan antibodi monoklonal yang dirancang untuk menargetkan jalur imunologis secara lebih spesifik. Tim Dr. Ferrada di NIH juga tengah mengembangkan indeks aktivitas penyakit khusus untuk RP, guna mempermudah pemantauan dan penanganan pasien secara individual.
Relapsing Polychondritis adalah kondisi yang jarang, namun dampaknya bisa sangat serius. Diagnosis dini dan penanganan yang tepat adalah kunci utama untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Bila Anda atau orang terdekat mengalami gejala yang tak biasa pada telinga, hidung, atau pernapasan, sebaiknya segera konsultasikan ke dokter. Pengetahuan bisa menyelamatkan hidup, dan mungkin ini saatnya lebih waspada terhadap penyakit yang sering tersembunyi ini.