Pernah mengalami satu titik dalam hidup ketika segalanya terasa hancur?


Bukan sekadar hari yang buruk, tapi titik di mana secara emosional dan mental benar-benar tidak mampu lagi menahan semuanya. Rasanya seperti dunia runtuh dari dalam.


Satu siang biasa, tidak ada kejadian besar. Hanya duduk di depan layar, menjawab pesan, mengejar tenggat pekerjaan. Tapi di dalam diri, tekanan sudah menumpuk terlalu lama. Tuntutan pekerjaan, persoalan pribadi, dan perasaan harus terus terlihat kuat untuk orang lain.


Kemudian datang sebuah pesan pendek dari seseorang yang sangat peduli. Hanya tiga kata:


“Kamu baik-baik saja?”


Dan saat itulah semuanya runtuh.


Tangisan yang Tak Terbendung


Tidak ada jawaban yang langsung diberikan. Justru air mata yang menjawab lebih dulu. Bukan tangisan tenang, tapi yang sesak, gemetar, dan nyaris membuat napas terasa berat.


Bukan karena pesan itu menyakitkan. Tapi karena itu menyentuh titik yang telah lama dipendam. Ketika satu hal kecil menjadi pemicu dari semua beban yang disimpan diam-diam selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.


Psikolog ternama, Dr. Susan David, pernah mengatakan:


"Saat emosi tidak dihadapi, mereka justru akan mengendalikan kita. Menghindarinya tidak membuatnya hilang, justru membuatnya semakin keras terdengar.”


Dan itulah yang terjadi. Emosi yang ditekan terlalu lama akhirnya menuntut untuk didengar.


Titik Runtuh yang Menjadi Titik Pulih


Melihat kembali kejadian itu, ternyata bukan sebuah kegagalan. Justru menjadi titik balik yang penting. Karena akhirnya mengakui bahwa tidak semuanya baik-baik saja. Tidak perlu terus tampil kuat. Tidak harus terus berpura-pura.


Neurosaintis Dr. Dan Siegel pernah menyampaikan konsep yang disebutnya “name it to tame it” bahwa dengan memberi nama atau label pada emosi, kita mulai bisa mengendalikannya. Saat runtuh, justru saat itulah proses pulih dimulai.


Hal-hal Kecil yang Membantu Pulih Perlahan


Setelah semua tangisan itu reda, akhirnya membalas pesan yang sempat membuat runtuh tadi dengan kejujuran. Mengatakan bahwa memang tidak sedang baik-baik saja. Dan ternyata, menyampaikan hal itu memberikan kelegaan yang luar biasa.


Beberapa kebiasaan baru juga mulai dilakukan:


- Menulis di jurnal. Bukan tulisan puitis, tapi jujur.


- Mengutamakan tidur. Bahkan jika harus membatalkan rencana agar bisa beristirahat.


- Mengizinkan diri untuk merasa. Tidak lagi hidup dalam mode otomatis.


- Lebih jujur pada orang-orang terdekat. Bukan hanya menjawab "aku baik" saat tidak benar-benar baik


Dr. Kristen Neff, seorang peneliti kesehatan mental, sering mengingatkan bahwa:


- "Ketika kita memberi diri sendiri kelembutan dan pengertian, hidup kita bisa mulai berubah."


- Pemulihan bukan tentang menyelesaikan semua masalah sekaligus. Tapi tentang bisa bernapas lagi.


Banyak yang Mengalami, Anda Tidak Sendiri


Data dari Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa lebih dari 280 juta orang di seluruh dunia hidup dengan depresi. Banyak dari mereka bahkan tidak menyadarinya atau tidak pernah berbicara tentangnya selama bertahun-tahun.


Merasa hancur bukan berarti lemah. Bukan berarti berlebihan. Itu artinya sedang berusaha menjalani hidup dalam dunia yang seringkali menuntut terlalu banyak.


Sudahkah Anda Mengalami Momen Seperti Ini?


Pernah mengalami waktu di mana segalanya terasa ambruk, tapi tidak tahu apa penyebabnya secara pasti?


Jika itu pernah terjadi atau sedang terjadi sekarang ketahuilah bahwa Anda tidak sendiri.


Dan jika ingin berbagi, siapa tahu cerita Anda bisa membantu seseorang lainnya yang juga sedang berjuang. Cukup tinggalkan atau cukup katakan "saya juga."


Bila sedang berada di titik itu sekarang, tolong ingat satu hal penting:


Ini akan berlalu. Anda tidak lemah. Anda hanya sedang merasakan dengan sangat dalam. Dan itu bukan kesalahan.