Autoimmune encephalitis (AE) adalah kelompok gangguan inflamasi sistem saraf pusat (SSP) yang dimediasi oleh antibodi dan terutama menyerang sistem limbik. Penyakit ini ditandai dengan munculnya gejala neuropsikiatrik secara akut hingga subakut, yang memerlukan penanganan segera.
Sayangnya, gejalanya sering menyerupai ensefalitis infeksius, gangguan kejiwaan, atau proses neurodegeneratif, sehingga diagnosis dini kerap terhambat.
Berdasarkan pedoman terbaru dari Autoimmune Encephalitis Alliance Clinicians Network yang diterbitkan pada tahun 2023, terapi imun yang diberikan di tahap awal secara signifikan meningkatkan hasil fungsi neurologis pasien.
Kerangka Diagnosis: Panel Antibodi dan Tanda Bahaya
Diagnosis AE memerlukan integrasi data klinis, radiologis, serologis, dan cairan serebrospinal (CSF). Kehadiran antibodi spesifik terhadap permukaan neuron seperti anti-NMDAR, LGI1, CASPR2, atau reseptor GABA-B merupakan petunjuk kunci dalam diagnosis.
Menurut Dr. Josep Dalmau, pakar terkemuka di bidang neurologi autoimun, pengujian antibodi sebaiknya tidak menunda pemberian terapi awal, terutama jika kecurigaan klinis tinggi. Dalam publikasinya tahun 2024 di The Lancet Neurology, ia memperkenalkan algoritma diagnostik bertahap yang menekankan pentingnya memulai imunoterapi sambil menunggu hasil konfirmasi serologis.
Beberapa ciri diagnostik utama meliputi:
- Gangguan kognitif, kejang, atau gangguan gerak yang muncul secara cepat
- Temuan MRI berupa sinyal meningkat di area lobus temporal bagian tengah
- CSF menunjukkan peningkatan sel atau adanya pita protein abnormal
- EEG menunjukkan aktivitas otak melambat atau tanda kejang
Imunoterapi Lini Pertama: Waktu adalah Segalanya
Pengobatan AE di tahap awal biasanya dimulai dengan kortikosteroid dosis tinggi, imunoglobulin intravena (IVIG), atau plasmaferesis (PLEX). Pemilihan terapi bergantung pada tingkat keparahan klinis, ketersediaan fasilitas, dan kondisi penyerta.
Studi multi-senter tahun 2023 yang dipimpin Dr. Angela Vincent dari Universitas Oxford menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam 10 hari pertama sejak munculnya gejala dapat mengurangi risiko disabilitas jangka panjang hingga 40%.
Protokol imunoterapi lini pertama meliputi:
- Methylprednisolone 1 gram per hari selama lima hari
- IVIG 0,4 gram/kg/hari selama 5 hari
- PLEX sebanyak 5–7 siklus dalam waktu 10–14 hari
Terapi Lanjutan: Saat Terapi Awal Gagal
Jika tidak ada respons terhadap terapi lini pertama dalam dua minggu, maka diperlukan eskalasi terapi. Agen lini kedua meliputi rituximab (antibodi monoklonal anti-CD20) dan siklofosfamid.
Data terbaru dari kelompok NEOS (Anti-NMDA Encephalitis One-Year Functional Status) menunjukkan bahwa pemberian rituximab dalam waktu satu bulan setelah timbulnya gejala dapat memperbaiki skor pemulihan fungsi neurologis satu tahun kemudian pada 60% kasus berat AE anti-NMDAR.
Skrining Tumor dan Pemantauan Paraneoplastik
AE dapat bersifat paraneoplastik, di mana tumor menjadi pemicu respons imun. Misalnya, pada perempuan di bawah usia 40 tahun dengan AE tipe anti-NMDAR, sekitar 50% ditemukan memiliki teratoma ovarium. Oleh karena itu, skrining tumor secara berkala sangat penting menggunakan MRI panggul, PET-CT, atau USG transvaginal.
Untuk subtipe lain seperti anti-Hu atau anti-GABA-B, karsinoma paru sel kecil atau timoma sering kali menjadi penyebabnya. Pemantauan berkala setiap 6–12 bulan selama dua tahun pertama direkomendasikan, bahkan jika hasil pencitraan awal negatif. Dr. Andrew McKeon dari Mayo Clinic dalam publikasinya tahun 2024 menekankan bahwa pengobatan terhadap tumor dan gangguan autoimun secara bersamaan dapat meningkatkan angka pemulihan dan mengurangi risiko kekambuhan.
Pemantauan, Pencegahan Relaps, dan Perawatan Jangka Panjang
AE dapat kambuh pada 15–25% pasien, khususnya pada kasus dengan antibodi LGI1 dan CASPR2. Untuk mencegah hal ini, imunosupresi jangka panjang seperti mikofenolat mofetil atau azathioprine sering digunakan sebagai terapi pemeliharaan pengganti steroid.
Evaluasi neurokognitif dan psikiatri secara rutin juga penting dilakukan dalam perawatan lanjutan. Masalah ingatan, fungsi eksekutif, dan gangguan suasana hati bukanlah hal yang jarang. Oleh karena itu, penanganan harus melibatkan tim multidisipliner yang terdiri dari ahli saraf, psikiater, imunolog, hingga spesialis rehabilitasi.
Prognosis: Menuju Jalur Pemulihan yang Disesuaikan
AE merupakan kondisi yang berpotensi untuk sembuh total, meskipun hasilnya sangat bergantung pada jenis antibodi, keterkaitan dengan tumor, dan kecepatan pengobatan. Pasien AE dengan antibodi anti-NMDAR memiliki kemungkinan pulih hingga 80% jika mendapat terapi lebih awal. Sebaliknya, AE yang berhubungan dengan antibodi intraseluler seperti anti-Hu cenderung memiliki prognosis yang buruk akibat kerusakan neuron permanen oleh sel T sitotoksik.
Arah masa depan dalam pengelolaan AE mencakup pengembangan biomarker untuk stratifikasi awal dan prediksi respons terapi, serta pendekatan imunoterapi yang dipersonalisasi berdasarkan dominasi sel B atau T.
Autoimmune encephalitis adalah tantangan besar dalam dunia neurologi yang memerlukan kecepatan, ketelitian, dan kerja sama lintas disiplin. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap proses imunologis di balik AE, kini pengobatan bisa diarahkan lebih tepat sasaran, memberikan harapan baru untuk pemulihan fungsi neurologis secara menyeluruh.