Penyakit autoimun mencerminkan kondisi kompleks di mana sistem kekebalan justru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan peradangan kronis dan kerusakan organ.


Di balik sebagian besar penyakit autoimun, terdapat peran penting dari limfosit T (T cell), yang merupakan komponen utama sistem imun adaptif. Ketika fungsi T cell terganggu, keseimbangan kekebalan tubuh pun rusak dan memicu serangan terhadap jaringan sehat.


Perkembangan T Cell dan Toleransi Sentral: Pertahanan Pertama Tubuh


T cell awalnya bermula dari sel punca hematopoietik di sumsum tulang, dan menuju ke kelenjar timus untuk matang. Di sinilah proses toleransi sentral berlangsung, yaitu penyaringan T cell berdasarkan kemampuannya mengenali antigen tubuh sendiri. T cell yang memiliki afinitas tinggi terhadap peptida tubuh sendiri akan dieliminasi melalui proses yang dikenal sebagai seleksi negatif.


Namun, menurut Dr. Robert J. Vries dari Universitas Amsterdam, toleransi sentral tidak sempurna. Beberapa T cell yang reaktif terhadap antigen tubuh sendiri berhasil "lolos" dari proses seleksi ini agar tetap tersedia beragam jenis T cell yang mampu merespons antigen asing. T cell yang berhasil lolos inilah yang memerlukan pengawasan tambahan melalui mekanisme toleransi perifer agar tidak menimbulkan penyakit autoimun.


Toleransi Perifer dan Treg: Penjaga Keseimbangan Sistem Imun


Toleransi perifer bekerja dengan cara menonaktifkan (anergi), menghapus (deletion), atau menekan T cell berbahaya melalui peran sel T regulator (Treg). Treg yang membawa faktor transkripsi FoxP3 memiliki kemampuan menekan respon imun melalui kontak langsung antarsel, pelepasan sitokin anti-inflamasi seperti IL-10 dan TGF-β, serta manipulasi metabolik terhadap sel T efektor.


Mutasi pada gen FOXP3 dapat menyebabkan gangguan serius pada sistem imun seperti sindrom IPEX, yang menunjukkan betapa pentingnya peran Treg dalam mencegah autoimunitas. Penelitian terbaru di bidang epigenetik menunjukkan bahwa stabilitas Treg bergantung pada susunan kromatin yang teratur. Faktor lingkungan yang mengganggu keseimbangan ini dapat memicu penyakit autoimun.


Jalur-Jalur Penyebab Disfungsi Sel T dalam Autoimunitas


T cell autoreaktif bisa aktif bila berhadapan dengan antigen oleh sel penyaji antigen profesional seperti sel dendritik, makrofag, dan sel B. Dalam kondisi autoimun, ekspresi molekul ko-stimulatori seperti CD80/86 meningkat, sehingga menguatkan aktivasi T cell. Molekul CD28 di T cell membutuhkan interaksi ini sebagai "sinyal kedua" untuk dapat berkembang, menghasilkan sitokin, dan menjalankan fungsinya.


Sebaliknya, CTLA-4 berperan sebagai penghambat alami karena bersaing dengan CD28 untuk berikatan dengan CD80/86. Disfungsi jalur CTLA-4 telah dikaitkan dengan berbagai penyakit autoimun, termasuk diabetes tipe 1 dan gangguan tiroid autoimun.


Lingkungan Sitokin dan Pola Diferensiasi T Cell


Lingkungan mikro yang dipenuhi sitokin akan memengaruhi arah diferensiasi sel T helper. IL-12 memicu pembentukan Th1, sedangkan kombinasi IL-6, IL-1β, dan TGF-β membentuk Th17. IL-23 memperkuat keberlangsungan Th17, yang kemudian menghasilkan IL-17A, IL-21, dan GM-CSF semua berperan dalam perekrutan sel imun dan meningkatkan peradangan.


Keberhasilan pengobatan psoriasis dan radang sendi psoriatik menggunakan antibodi penetralisir IL-17 (seperti secukinumab) menjadi bukti bahwa jalur ini sangat relevan secara klinis.


Reprogramming Metabolik dalam T Cell


Aktivasi dan diferensiasi T cell memerlukan perubahan metabolik. T cell yang masih belum aktif mengandalkan fosforilasi oksidatif, sementara T cell efektor yang aktif beralih ke glikolisis untuk memenuhi kebutuhan energinya. Dalam penyakit autoimun, sel T menunjukkan pola metabolik yang berubah demi bertahan di lingkungan yang meradang. Penelitian Dr. Maria Gonzalez dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa penghambatan jalur glikolisis dapat secara selektif menghambat sel Th17 patogen tanpa mengganggu Treg, membuka peluang terapi baru yang berbasis metabolik.


Titik Pemeriksaan Imun dan Kelelahan T Cell


Molekul seperti PD-1 dan TIGIT mengatur kelelahan T cell suatu kondisi penurunan fungsi yang mencegah aktivasi berlebihan. Namun, pada penyakit autoimun, T cell yang seharusnya "lelah" sering kali masih mempertahankan sebagian fungsi efektornya, sehingga tetap memicu peradangan. Terapi blokade titik pemeriksaan imun yang digunakan dalam pengobatan kanker, seperti antibodi anti-PD-1, diketahui dapat menimbulkan efek samping berupa gejala autoimun, menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan imun ini.


Wawasan Penyakit Autoimun Spesifik yang Melibatkan T Cell


- Multiple Sclerosis (MS)


Pada MS, T cell Th1 dan Th17 yang autoreaktif menembus sawar darah otak dan menyerang mielin, mengakibatkan kerusakan selubung saraf. Profil sel tunggal menunjukkan adanya perluasan klonal T cell dengan reseptor afinitas tinggi terhadap protein mielin dasar (MBP).


- Rheumatoid Arthritis (RA)


Dalam RA, sel T folikular helper (Tfh) mendorong pematangan sel B dan produksi autoantibodi seperti rheumatoid factor dan antibodi anti-sitrulin. Jaringan sendi mengandung sel T memori yang menghasilkan TNF-α dan IL-17, memperparah peradangan dan kerusakan sendi.


- Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


SLE ditandai oleh bantuan T cell yang berlebihan kepada sel B autoreaktif, memicu produksi autoantibodi yang merusak berbagai organ. Treg yang tidak berfungsi optimal dan peningkatan ekspresi molekul ko-stimulator memperparah kondisi ini.


Terobosan Terbaru dalam Terapi T Cell untuk Autoimunitas


Inovasi terapi kini menuju pada pengaturan aktivitas sel T yang lebih spesifik. Abatacept (CTLA-4-Ig) mengatur kembali sinyal ko-stimulasi T cell dan efektif dalam RA dan artritis idiopatik juvenil. Inhibitor IL-17 dan Janus kinase (JAK) menargetkan jalur sitokin yang penting bagi aktivasi T cell.


Kini, terapi transfer Treg autolog yang diperbanyak secara eks vivo sedang diuji dalam uji klinis. Inovasi terbaru mencakup Treg rekayasa dengan reseptor antigen khimerik (CAR-Treg) yang secara spesifik mengenali antigen penyakit. Untuk mendukung terapi presisi ini, diperlukan biomarker yang akurat untuk memprediksi respons pasien, yang dapat diperoleh melalui flow cytometry multiparameter, sekuensing TCR, dan analisis transkriptomik.


Meski banyak kemajuan telah dicapai, tantangan utama masih berupa keragaman penyakit autoimun dan risiko infeksi atau pertumbuhan sel abnormal akibat penekanan sistem imun. Terapi masa depan harus mampu menyeimbangkan modulasi imun dengan perlindungan terhadap infeksi dan menjaga fungsi kekebalan tubuh yang sehat.