Kolitis ulseratif (UC) adalah kondisi inflamasi kronis yang menyerang lapisan mukosa usus besar. Penyakit ini dikenal karena gejalanya yang kambuhan dan perjalanan klinis yang sulit diprediksi. Meskipun terapi konvensional seperti aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator tetap menjadi dasar pengobatan, banyak pasien yang tidak mencapai remisi jangka panjang dengan metode ini.


Dua dekade terakhir telah menghadirkan harapan baru melalui hadirnya terapi biologis yang secara signifikan mengubah pendekatan pengobatan UC. Terapi ini menargetkan sistem imun secara spesifik dan telah menggeser fokus pengobatan dari sekadar mengurangi gejala menjadi penyembuhan mukosa dan modifikasi penyakit jangka panjang.


Memahami Mekanisme Imunologis UC dan Target Terapi Biologis


Kolitis ulseratif terjadi karena respon imun yang tidak teratur terhadap antigen di usus, sehingga menyebabkan peradangan kronis pada mukosa kolon. Proses ini melibatkan peningkatan kadar sitokin seperti TNF-α, integrin, interleukin (IL)-12/23, dan jalur pensinyalan JAK-STAT. Terapi biologis bekerja dengan menghambat mediator-mediator ini secara spesifik. Misalnya, infliximab dan adalimumab merupakan agen anti-TNF yang menetralkan TNF-α, sebuah protein penting yang memicu kerusakan jaringan dan menarik sel-sel imun ke lokasi peradangan.


Di sisi lain, vedolizumab adalah anti-integrin yang bekerja secara selektif dengan memblokir α4β7 integrin, sehingga menghambat pergerakan sel T menuju jaringan usus tanpa menekan sistem imun secara keseluruhan. Ustekinumab, yang merupakan inhibitor IL-12/23, serta inhibitor JAK (meskipun secara teknis bukan biologis, tetapi sering dibahas bersama) bertujuan mengendalikan peradangan dengan menargetkan jalur pensinyalan di dalam sel.


Anti-TNF: Generasi Pertama Terapi Biologis


Terapi biologis untuk UC dimulai dengan diperkenalkannya infliximab pada tahun 1998. Bersama adalimumab dan golimumab, obat-obatan ini telah menjadi tulang punggung terapi untuk UC sedang hingga berat. Dalam studi penting ACT-1, sebanyak 69% pasien yang menerima infliximab menunjukkan respons klinis pada minggu ke-8, dibandingkan dengan hanya 37% pada kelompok plasebo. Penyembuhan mukosa yang berkelanjutan juga dikaitkan dengan penurunan tingkat rawat inap dan pembedahan.


Namun, salah satu tantangan terapi ini adalah terbentuknya antibodi terhadap obat, yang bisa mengurangi efektivitas dan meningkatkan efek samping. Kombinasi dengan obat imunomodulator seperti tiopurin dapat mengurangi risiko ini, meskipun berpotensi meningkatkan risiko infeksi dan efek samping lainnya.


Vedolizumab: Menargetkan Peradangan di Usus Saja


Disetujui penggunaannya pada tahun 2014, vedolizumab menawarkan pendekatan yang lebih selektif dengan hanya mempengaruhi jaringan usus. Dengan menghambat integrin α4β7, obat ini mencegah leukosit berpindah ke jaringan usus yang meradang, tanpa menurunkan kekebalan tubuh secara umum. Hal ini sangat berguna bagi pasien yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi atau kondisi lain yang memerlukan pengawasan sistem imun.


Dalam uji klinis GEMINI 1, vedolizumab menunjukkan bahwa 41,8% pasien mencapai remisi klinis pada minggu ke-52, dengan profil keamanan yang sangat baik. Namun, efek kerja yang lebih lambat membuatnya kurang ideal untuk pasien dengan kondisi akut yang membutuhkan perbaikan segera.


Ustekinumab dan Terapi Baru: Harapan Baru di Depan Mata


Ustekinumab adalah antibodi monoklonal yang menargetkan subunit p40 yang dimiliki oleh IL-12 dan IL-23. Dengan memblokir jalur Th1 dan Th17, ustekinumab memberikan efek anti-inflamasi yang lebih menyeluruh. Meskipun awalnya digunakan untuk penyakit Crohn, keberhasilannya dalam studi UNIFI membawa obat ini ke dalam pengobatan UC. Dalam studi tersebut, lebih dari 40% pasien mencapai remisi klinis setelah satu tahun, termasuk mereka yang gagal dengan terapi biologis sebelumnya.


Kini, generasi baru penghambat IL-23 seperti risankizumab dan mirikizumab sedang dikembangkan untuk memberikan efek yang lebih spesifik dengan potensi efek samping yang lebih ringan. Ini membuka peluang besar untuk manajemen UC yang lebih aman dan efektif.


Penggunaan Biologis yang Lebih Cermat: Monitoring dan Dosis Individual


Untuk memaksimalkan efektivitas terapi biologis, pendekatan presisi sangat dibutuhkan. Saat ini, pendekatan pemantauan kadar obat secara berkala atau therapeutic drug monitoring (TDM) menjadi strategi penting untuk memastikan dosis yang tepat, mendeteksi antibodi terhadap obat, dan mencegah kegagalan terapi. Faktor-faktor seperti berat badan, kadar albumin, dan tingkat peradangan juga memengaruhi seberapa cepat obat dikeluarkan dari tubuh, sehingga menekankan pentingnya pendekatan yang dipersonalisasi.


Strategi Kombinasi dan Arah Masa Depan


Masa depan pengobatan UC tidak hanya akan bergantung pada satu jenis obat. Kombinasi dua terapi dengan mekanisme berbeda, misalnya vedolizumab dan tofacitinib sedang diuji dalam kasus-kasus yang sulit ditangani. Meskipun aspek keamanannya masih dievaluasi, pendekatan ini menjanjikan kontrol yang lebih baik terhadap mekanisme kompleks UC.


Selain itu, kehadiran biosimilar seperti infliximab-dyyb dan adalimumab-atto telah membuka akses pengobatan bagi lebih banyak pasien, khususnya di daerah dengan keterbatasan sumber daya. Data dunia nyata menunjukkan bahwa biosimilar ini memiliki efektivitas dan keamanan yang sebanding dengan produk aslinya.


Dengan hadirnya terapi biologis, tujuan pengobatan UC telah bergeser dari sekadar mengurangi gejala menjadi mencapai penyembuhan mukosa dan mengubah perjalanan penyakit dalam jangka panjang. Dari penghambat TNF-α, integrin, hingga IL-23, dokter kini memiliki berbagai pilihan untuk menyesuaikan pengobatan berdasarkan kebutuhan spesifik pasien. Dukungan teknologi seperti monitoring kadar obat dan pendekatan farmakogenetik semakin mendekatkan kita pada pengobatan yang benar-benar personal.