Penyakit Crohn merupakan salah satu bentuk penyakit radang usus (inflammatory bowel disease/IBD) yang bersifat kronis dan ditandai oleh peradangan transmural yang menyerang bagian saluran pencernaan. Penyebab pasti penyakit ini bersifat kompleks, mencakup faktor genetik, ketidakseimbangan mikroba usus, gangguan fungsi penghalang epitel, dan ketidakteraturan dalam jaringan komunikasi sitokin yang mengatur respons imun.
Dalam kondisi normal, tubuh menjaga keseimbangan antara respons imun perlindungan dan toleransi terhadap komponen usus. Namun, pada penyakit Crohn, keseimbangan ini terganggu sehingga memicu peradangan berlebihan yang dipicu oleh sitokin dari sistem imun bawaan maupun adaptif.
TNF-α: Pemain Utama dalam Rantai Peradangan
Tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) adalah salah satu sitokin paling penting dalam perkembangan penyakit Crohn. TNF-α diproduksi oleh makrofag aktif, sel dendritik, dan limfosit Th1. Fungsinya meliputi perekrutan leukosit, memicu kematian sel epitel usus, dan pembentukan granuloma.
Keberhasilan obat anti-TNF seperti infliximab, adalimumab, dan certolizumab pegol membuktikan betapa pentingnya TNF-α dalam penyakit ini. Obat-obatan tersebut bekerja dengan menghambat TNF-α sehingga mengurangi peradangan dan membantu pasien mencapai remisi. Meski demikian, tidak semua pasien merespons pengobatan ini, menandakan adanya faktor sitokin lain yang turut berperan.
Peran IL-12 dan IL-23 dalam Mengarahkan Sel T
Poros IL-12/IL-23 menjadi pusat perhatian dalam gangguan imunitas mukosa pada penyakit Crohn. IL-12 terdiri atas subunit p35 dan p40, berperan dalam diferensiasi sel T naïf menjadi Th1 yang menghasilkan interferon-gamma (IFN-γ). Sementara itu, IL-23 yang juga memiliki subunit p40 namun dengan p19 sebagai pasangan, mendorong pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel Th17 yang menghasilkan IL-17A, IL-17F, dan IL-22.
Menurut tinjauan Dr. Fiona Powrie dari Universitas Oxford pada tahun 2023, sel Th17 memiliki fleksibilitas untuk berubah menjadi sel yang lebih proinflamasi di lingkungan usus, memperparah kondisi Crohn. Obat biologis seperti ustekinumab yang menargetkan subunit p40 berhasil menghambat aktivitas IL-12 dan IL-23 sekaligus, memberikan hasil positif pada pasien.
IL-6 dan Jalur STAT3: Penjaga Peradangan Kronis
Interleukin-6 (IL-6) memiliki peranan ganda dalam memicu respons fase akut sekaligus mempertahankan peradangan kronis melalui jalur STAT3. Peningkatan kadar IL-6 pada pasien Crohn telah dikaitkan dengan kemampuan sel T di lapisan lamina propria usus untuk menghindari kematian sel, memperpanjang inflamasi mukosa.
Tocilizumab, antibodi anti-resptor IL-6 yang sudah disetujui untuk artritis reumatoid, menunjukkan potensi dalam uji klinis Crohn. Namun, kekhawatiran terhadap risiko perforasi usus dan infeksi membatasi penggunaannya secara luas.
IL-17 dan IL-22: Pelindung yang Berubah Menjadi Penyerang
IL-17 dan IL-22 semula dianggap berperan melindungi epitel usus.IL-17A meningkatkan perekrutan neutrofil dan ekspresi enzim penghancur jaringan, sedangkan IL-22 mendukung regenerasi sel epitel. Namun, dalam kondisi stimulasi berkelanjutan, keduanya justru dapat memperburuk fibrosis dan displasia.
Pengecekan dengan secukinumab, penghambat IL-17A, ternyata tidak menunjukkan hasil yang diharapkan dalam uji klinis terhadap pasien Crohn, bahkan memperburuk gejala, menurut studi tahun 2022 di jurnal Gastroenterology. Temuan ini menunjukkan bahwa peran sitokin Th17 sangat bergantung pada konteks dan kondisi spesifik di usus.
Sitokin Pengatur: TGF-β dan IL-10 yang Menjaga Keseimbangan
Transforming growth factor-beta (TGF-β) dan interleukin-10 (IL-10) merupakan sitokin penting dalam menjaga toleransi mukosa dan mencegah peradangan berlebih. Mutasi genetik yang mempengaruhi jalur sinyal IL-10 ditemukan pada pasien IBD usia muda, menandakan perannya yang krusial.
Terapi IL-10 rekombinan menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam penelitian awal, tetapi belum optimal dalam praktek klinis. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ketidakstabilan IL-10 di lingkungan usus yang mengalami peradangan atau distribusi yang tidak optimal. Oleh karena itu, pendekatan baru sedang dikembangkan, seperti bakteri yang dimodifikasi secara genetik untuk menghasilkan IL-10 langsung di usus.
Interaksi Sitokin, Mikrobiota, dan Penghalang Usus
Selain mengatur fungsi sel imun, sitokin juga memengaruhi hubungan antara tubuh dan mikrobiota serta integritas penghalang epitel. IFN-γ dan TNF-α yang tinggi dapat merusak protein pengikat sel epitel seperti okludin dan klaudin, menyebabkan bocornya penghalang mukosa dan memungkinkan perpindahan bakteri ke jaringan.
Penelitian terbaru dari tim Dr. Eran Elinav di Institut Weizmann (2024) menunjukkan bahwa IL-22 yang dihasilkan oleh sel limfoid bawaan dapat memperbaiki penghalang usus. Namun, jika tidak dikendalikan, IL-22 juga bisa memperburuk ketidakseimbangan mikrobiota, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penyesuaian terapi berbasis sitokin.
Arah Baru: Imunoterapi Presisi untuk Masa Depan
Dengan berkembangnya pemahaman terhadap jaringan sitokin, pendekatan terapi kini bergerak ke arah yang lebih spesifik dan personal. Informasi mengenai variasi genetik sitokin, pola ekspresi jaringan, dan karakteristik sel imun dapat membantu merancang strategi imunologi presisi. Obat-obatan yang sedang diuji seperti risankizumab dan mirikizumab (penghambat selektif IL-23), serta inhibitor JAK seperti upadacitinib dan filgotinib, menunjukkan harapan besar.
Peran sitokin dalam penyakit Crohn sangat kompleks, mencakup awal mula aktivasi imun hingga pemeliharaan peradangan kronis. Pemahaman mendalam terhadap jalur molekuler ini sangat penting untuk menciptakan terapi yang tidak hanya meredakan gejala, tetapi juga menargetkan akar permasalahan pada mukosa usus secara langsung.