Selama ini, perhatian utama dalam dunia medis dan masyarakat lebih banyak terpusat pada penderitaan fisik dan emosional yang dialami oleh pasien kanker.


Namun, kini muncul kesadaran baru tentang krisis lain yang diam-diam berkembang di balik layar: gangguan stres pasca trauma (PTSD) yang dialami oleh para pengasuh pasien kanker. Fenomena ini sering kali tidak terdiagnosis dengan tepat, meskipun dampaknya begitu nyata dan serius.


Menurut studi terbaru tahun 2024 yang dimuat dalam JAMA Psychiatry, sekitar 25–35% pengasuh pasien kanker menunjukkan gejala PTSD klinis maupun subklinis dalam waktu satu tahun sejak diagnosis pertama kali ditegakkan. Gejala yang umum muncul antara lain adalah kenangan traumatis yang terus menerus menghantui, kewaspadaan berlebihan, perilaku menghindar, serta mati rasa emosional. Gejala-gejala ini tidak jauh berbeda dari yang ditemukan pada korban bencana besar atau kecelakaan hebat.


Bukan Sekadar Lelah Mental: Ada Dasar Medis di Balik Trauma Pengasuh


Dr. Eleanor McBride, seorang neuropsikiater dari Dana-Farber Cancer Institute, menegaskan bahwa pengasuh yang terus-menerus berada dalam tekanan emosional akan mengalami perubahan pada struktur otak. “Ini bukan sekadar kelelahan atau rasa sedih. Ini adalah gangguan neurokimia yang melibatkan bagian otak seperti amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal,” jelasnya.


Ia menambahkan bahwa tugas pengasuhan tidak hanya menyita waktu, tapi juga penuh ketidakpastian dan sering kali mempertemukan pengasuh dengan kondisi pasien yang sangat menyedihkan. Paparan stres jangka panjang ini mengaktifkan sumbu HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) secara terus menerus, yang dapat memicu reaksi tubuh mirip dengan trauma berat.


Siapa yang Paling Rentan? Kenali Kelompok Risiko Tinggi


Penelitian menunjukkan bahwa pengasuh perempuan, pasangan dari pasien, dan mereka yang merawat pasien kanker stadium lanjut memiliki risiko lebih tinggi mengalami PTSD. Sebuah meta-analisis tahun 2023 dari Universitas Toronto menemukan bahwa pengasuh yang menunjukkan gejala PTSD juga mengalami ketidakseimbangan kadar hormon kortisol dan peningkatan kadar sitokin inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α. Ini menunjukkan bahwa trauma psikologis memiliki dampak langsung terhadap peradangan tubuh.


Lebih lanjut, variasi genetik pada gen FKBP5 dan COMT yang berperan dalam respons stres ditemukan lebih sering pada pengasuh yang rentan terhadap gangguan trauma. Penemuan ini membuka peluang untuk skrining awal dan penanganan yang lebih tepat.


Luka Mendalam yang Ditimbulkan oleh Kesedihan Antisipatif


Tidak seperti trauma yang muncul tiba-tiba, pengalaman merawat pasien kanker biasanya melibatkan kesedihan antisipatif, yaitu kondisi ketika seseorang terus-menerus bersiap menghadapi kehilangan yang belum terjadi. Kondisi ini dapat berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, dan menyebabkan beban emosional yang luar biasa.


Dr. Samuel Ng, psikolog klinis dari Mayo Clinic, menyebut bahwa kesedihan jenis ini mengganggu proses pengolahan emosi yang normal. “Bayangkan setiap hari Anda dihadapkan pada harapan yang tipis dan kenyataan yang menyakitkan. Konflik batin ini sangat membebani sistem kognitif dan emosional manusia,” ungkapnya.


Mengapa PTSD pada Pengasuh Sering Terlewatkan?


Salah satu alasan utama PTSD pada pengasuh jarang terdiagnosis adalah karena gejalanya sering kali disamarkan oleh norma sosial, bahwa pengasuh harus kuat, tabah, dan tidak mengeluh. Selain itu, gejalanya juga kerap disalahartikan sebagai gangguan kecemasan biasa atau depresi ringan.


Meskipun kriteria dalam DSM-5-TR kini telah mengakui bahwa trauma tidak harus berasal dari pengalaman langsung, banyak pengasuh tetap tidak memenuhi ambang “peristiwa mengejutkan tunggal” yang biasa digunakan dalam diagnosis, sehingga sulit untuk dikenali sebagai PTSD. Hal ini mendorong munculnya wacana untuk memperbarui alat diagnosis agar lebih relevan bagi mereka yang menjalani pengalaman traumatis secara kronis.


Efek Domino: Dari Kesehatan Pasien hingga Sistem Kesehatan


PTSD yang tidak tertangani dengan baik pada pengasuh tidak hanya berdampak pada mereka secara pribadi, tapi juga terhadap pasien dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi mental pengasuh sangat memengaruhi kepatuhan pasien terhadap pengobatan, tingkat rawat inap kembali, bahkan peluang bertahan hidup pasien.


Di sisi lain, pengasuh yang mengalami PTSD berisiko lebih tinggi mengalami gangguan jantung, penurunan imunitas, ketergantungan obat, hingga ketidakstabilan pekerjaan. Karena itu, American College of Physicians (ACP) kini merekomendasikan agar rumah sakit kanker secara rutin melakukan skrining terhadap kondisi mental para pengasuh.


Langkah Nyata: Pendekatan Medis untuk Menangani Trauma Pengasuh


Berbagai pendekatan medis mulai diterapkan untuk menangani trauma pada pengasuh, tidak hanya sekadar menyediakan dukungan sosial. Pendekatan tersebut meliputi:


- Terapi perilaku kognitif berbasis trauma (TF-CBT)


- Penggunaan obat seperti SSRI dan beta-blocker untuk mengurangi gejala hiperwaspada


- Program pengurangan stres berbasis mindfulness (MBSR) yang disesuaikan untuk pengasuh medis


- Teknik neurofeedback dan stimulasi saraf vagus yang kini tengah diuji coba


Beberapa institusi seperti MD Anderson Cancer Center bahkan telah meluncurkan program trauma terpadu khusus bagi pengasuh, yang dikoordinasikan oleh tim neuropsikiatri. Program ini mencakup pemantauan biomarker, skrining psikologis, hingga perencanaan terapi yang sejalan dengan jadwal perawatan onkologi.


Saatnya Mengubah Paradigma


PTSD pada pengasuh pasien kanker bukan lagi isu sampingan. Ini adalah kondisi medis nyata yang dapat didiagnosis dan harus ditangani secara serius. Dengan semakin kompleksnya perawatan kanker, apalagi yang kini banyak dilakukan di rumah, peran pengasuh semakin penting dan berat, mereka bukan sekadar pendamping, tapi juga tulang punggung emosional yang menopang proses penyembuhan.


Seperti yang ditegaskan Dr. McBride, “Kami menangani tumor, rasa sakit, dan kecemasan pasien. Namun jika kita terus mengabaikan trauma yang dialami pengasuh, maka kita telah mengabaikan satu pilar penting dalam ekosistem perawatan medis.”


Sudah saatnya para profesional kesehatan memasukkan asesmen trauma dalam protokol standar onkologi dan memberikan pengakuan bahwa PTSD pada pengasuh adalah masalah kesehatan yang perlu ditangani dengan pendekatan medis, bukan sekadar sosial.