Sejak pandemi COVID-19 melanda dunia, jumlah remaja yang didiagnosis secara klinis mengalami gangguan kecemasan meningkat drastis. Data dari JAMA Psychiatry edisi Maret 2025 mencatat bahwa prevalensi generalized anxiety disorder (GAD) pada remaja usia 12 hingga 17 tahun melonjak dari 7,5% pada 2019 menjadi 13,2% pada akhir 2024.


Kenaikan ini tak hanya terjadi pada GAD, tetapi juga menyasar jenis gangguan lain seperti panic disorder, separation anxiety, dan selective mutism, gangguan yang umumnya muncul di masa kanak-kanak, kini kembali muncul pada remaja akibat keterlambatan reintegrasi sosial pasca-pandemi.


Perubahan Struktur Otak: Efek Jangka Panjang pada Remaja


Masa remaja adalah periode krusial dalam perkembangan otak. Di masa ini, otak masih mengalami proses mielinisasi dan pemangkasan sinapsis. Gangguan sosial akibat pandemi telah menciptakan perubahan nyata dalam struktur dan fungsi otak remaja. Studi pencitraan fungsional MRI oleh Fakultas Kedokteran Universitas Stanford (2024) menemukan peningkatan aktivitas berlebihan pada amigdala serta penurunan fungsi regulasi di korteks prefrontal medial (mPFC) pada remaja dengan gejala kecemasan pasca-pandemi.


Menurut Dr. Evelyn Routh, ahli neuropsikiatri perkembangan remaja dari Stanford, “Perubahan ini bukanlah bersifat sementara. Ini adalah bentuk pengkabelan ulang otak sebagai respons terhadap isolasi sosial berkepanjangan, kondisi ketakutan terus-menerus, dan gangguan pola tidur.” Konektivitas kortikolimbik yang terganggu berkorelasi erat dengan perilaku penghindaran dan gejala somatik seperti sakit perut dan kelelahan, yang umum dialami oleh remaja saat ini.


Peran Peradangan dan Imunitas dalam Gangguan Kecemasan


Penelitian terbaru juga mengaitkan gangguan kecemasan dengan respons sistem imun tubuh. Studi longitudinal tahun 2024 dari Universitas Toronto menunjukkan bahwa remaja dengan gejala kecemasan tinggi memiliki kadar biomarker peradangan perifer yang tinggi, termasuk interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α). Ini menandakan adanya peradangan sistemik yang bisa memengaruhi sistem saraf pusat.


Dr. Sameer Ahuja, seorang ahli neuroimunologi, menyebutkan bahwa pola peradangan ini menyerupai ensefalopati ringan. Gejala ini lebih jelas terlihat pada remaja dengan gangguan kognitif dan kesulitan tidur yang berkepanjangan. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa sebagian gangguan kecemasan pada remaja mungkin dipicu oleh gangguan sistem kekebalan, khususnya mereka yang mengalami kelelahan pasca-virus atau gejala long-COVID.


Tantangan Obat-obatan: Resistensi dan Kompleksitas


Pengobatan dengan obat-obatan lini pertama seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), termasuk fluoxetine dan sertraline, kini menghadapi tantangan serius. Survei Nasional Psikofarmakologi Anak 2025 melaporkan bahwa 42% remaja yang menjalani pengobatan untuk kecemasan memerlukan terapi tambahan, sering kali dengan obat antipsikotik atipikal seperti aripiprazole, atau kombinasi dengan buspirone atau propranolol.


Kasus resistensi terhadap obat tak hanya disebabkan oleh masalah farmakodinamik. Faktor genetik juga turut berperan. Variasi genetik seperti alel pendek pada 5-HTTLPR ditemukan lebih banyak pada pasien yang tidak merespons pengobatan, menunjukkan adanya pengaruh farmakogenomik yang signifikan.


Paparan Digital Berlebihan: Rusaknya Sistem Hadiah Otak


Ketergantungan pada perangkat digital selama pandemi turut memperparah situasi. Studi PET oleh Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul (2024) mengungkap bahwa remaja dengan durasi penggunaan layar lebih dari 5 jam per hari menunjukkan penurunan ketersediaan reseptor dopamin di nucleus accumbens, area penting dalam mengatur antisipasi penghargaan dan emosi.


Kerusakan sistem dopaminergik ini menimbulkan gejala seperti hilangnya kesenangan (anhedonia), penarikan sosial, dan perilaku penghindaran yang memperburuk kecemasan. Gejala ini menyerupai pola pada kecanduan zat, sehingga dapat menjelaskan kemunculan perilaku adiktif yang berkaitan dengan kecemasan pada remaja setelah masa isolasi sosial.


Gangguan Tidur dan Aktivasi HPA Axis yang Kronis


Selama masa lockdown, ritme sirkadian remaja terganggu parah. Studi polisomnografi dari Rumah Sakit Umum Massachusetts (2023–2024) menunjukkan bahwa remaja dengan kecemasan mengalami penurunan tidur gelombang lambat dan siklus REM yang terfragmentasi. Gangguan tidur ini berkorelasi dengan peningkatan kadar kortisol saat bangun pagi, tanda dari aktivasi kronis sumbu hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).


Ketidakseimbangan sistem ini memperburuk gejala otonom seperti detak jantung tidak teratur dan keluhan pencernaan, seperti mual serta sindrom iritasi usus. Ini adalah gejala yang sering ditemukan pada remaja pasca-pandemi dan menjadi tantangan besar dalam penanganan klinis.


Komorbiditas yang Memperumit Penanganan


Kecemasan pasca-pandemi pada remaja jarang muncul sendirian. Sering kali muncul bersamaan dengan gangguan depresi berat, gangguan makan, atau bahkan kejang non-epileptik psikogenik (PNES). Laporan dari Columbia University Medical Center tahun 2024 menyatakan bahwa 63% remaja dengan kecemasan juga memenuhi kriteria diagnosis untuk setidaknya satu gangguan psikiatri tambahan.


Dalam kasus seperti ini, terapi tunggal hampir tidak memadai. Banyak dokter kini beralih ke protokol CBT transdiagnostik dan bahkan mulai mengeksplorasi teknik neuromodulasi seperti transcranial magnetic stimulation (TMS), terutama untuk pasien yang tidak merespons pengobatan.


Krisis kesehatan mental remaja pasca-COVID bukanlah fenomena sesaat. Ini adalah darurat neurokembang yang membutuhkan penanganan serius dari berbagai bidang, mulai dari pediatri, psikiatri, neurologi, hingga imunologi. Diperlukan redefinisi kerangka diagnosis dan algoritma terapi untuk menyesuaikan dengan kompleksitas gangguan kecemasan yang muncul saat ini.