Vitamin D selama ini dikenal luas sebagai nutrisi penting untuk kesehatan tulang. Namun, tahukah Anda bahwa zat ini sejatinya bekerja lebih dari sekadar vitamin biasa? Vitamin D dapat diproduksi ketika kulit terpapar sinar ultraviolet B (UVB) dari matahari.


Ketika kulit terpapar sinar ultraviolet B (UVB) dari matahari, tubuh mengubah 7-dehidrokolesterol menjadi previtamin D3. Selanjutnya, senyawa ini diubah di hati menjadi 25-hidroksivitamin D [25(OH)D], lalu di ginjal menjadi bentuk aktifnya yaitu 1,25-dihidroksivitamin D atau kalsitriol.


Kalsitriol memiliki kemampuan luar biasa dalam mengikat reseptor vitamin D (VDR), sebuah faktor transkripsi nuklir yang terdapat di hampir seluruh jaringan tubuh manusia, termasuk sel epitel di usus besar. Ketika aktif, kompleks VDR membentuk ikatan dengan retinoid X receptor (RXR) dan mempengaruhi transkripsi genetik. Vitamin D menunjukkan kemampuannya begitu kalsitriol masuk dan bekerja, ia bisa “mengaktifkan” atau “menonaktifkan” gen tertentu yang berkaitan dengan pertumbuhan, perkembangan, hingga perlindungan terhadap sel kanker. Hebat, bukan?


Benarkah Vitamin D Bisa Mencegah Kanker Usus Besar? Ini Faktanya!


Kanker kolorektal adalah salah satu sebab kematian karena kanker yang tertinggi. Penyakit ini menduduki peringkat ketiga sebagai jenis kanker yang paling umum dan menjadi penyebab kematian kedua terbanyak akibat kanker secara global. Menariknya, sejumlah data epidemiologi menunjukkan adanya korelasi terbalik antara kadar vitamin D dalam tubuh dan kejadian kanker kolorektal.


Dalam studi prospektif berskala besar yang dipublikasikan pada 2024 oleh The New England Journal of Medicine, ditemukan bahwa peserta yang memiliki kadar 25(OH)D tertinggi dalam darah memiliki angka kejadian adenoma kolorektal lanjut yang jauh lebih rendah. Studi ini mengontrol variabel-variabel seperti indeks massa tubuh (BMI), aktivitas fisik, dan asupan kalsium, yang sebelumnya menjadi faktor pengganggu dalam riset serupa. Temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa vitamin D bukan sekadar faktor pendukung, tetapi kemungkinan berperan langsung dalam mencegah kanker kolorektal.


Bagaimana Vitamin D Melawan Kanker? Ini Penjelasan Mekanismenya!


1. Menghambat Jalur Wnt/β-katenin yang Rusak


Jalur Wnt/β-katenin yang abnormal adalah ciri khas kanker kolorektal. Vitamin D terbukti mampu menurunkan akumulasi β-katenin dalam inti sel, sehingga ekspresi gen pemicu kanker bisa ditekan.


2. Mengaktifkan Penghambat Siklus Sel


Kalsitriol merangsang produksi protein p21^WAF1/CIP1 dan p27^KIP1, dua penghambat kinase yang mengatur siklus sel. Ini menyebabkan sel berhenti membelah pada fase G1, menurunkan potensi pertumbuhan sel kanker.


3. Merangsang Proses Apoptosis


Vitamin D membantu mengaktifkan protein pro-apoptotik seperti Bax dan menghambat protein anti-apoptotik seperti Bcl-2, mendorong sel-sel abnormal untuk mati secara alami sebelum berkembang menjadi kanker.


4. Mengatur Imunitas di Lingkungan Tumor


Vitamin D dapat mengubah karakter makrofag dari tipe M2 (yang mendukung pertumbuhan tumor) menjadi M1 (yang melawan tumor). Selain itu, vitamin ini meningkatkan jumlah sel T CD8+ pembunuh dan menekan sintesis prostaglandin serta ekspresi COX-2 yang berkaitan dengan peradangan pemicu kanker.


5. Pengaruh Epigenetik


Vitamin D bisa mengatur ekspresi gen secara epigenetik—yaitu memengaruhi cara gen bekerja tanpa mengubah struktur dasarnya. Ini memberi efek perlindungan jangka panjang terhadap usus.


Vitamin D Tak Hanya Mencegah, Tapi Juga Membantu Pasien Bertahan Lebih Lama


Di dunia medis, fokus kini bergeser dari sekadar pencegahan menjadi pengaruh terhadap perjalanan penyakit. Sebuah meta-analisis yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien, diterbitkan dalam JAMA Oncology tahun 2023, menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang tinggi berkorelasi dengan:


- Peningkatan angka kelangsungan hidup secara keseluruhan (Overall Survival)


- Meningkatkan kelangsungan hidup bebas penyakit (Disease-Free Survival)


- Penurunan risiko kematian akibat kanker


Dari segi mekanisme, vitamin D memiliki efek antiangiogenik (menghambat pembentukan pembuluh darah baru yang mendukung pertumbuhan tumor) dan memperkuat respons imun. Bahkan, data awal dari SUNSHINE Trial memperlihatkan bahwa kombinasi vitamin D dosis tinggi (4.000 IU/hari) dengan kemoterapi standar FOLFOX pada pasien kanker kolorektal stadium lanjut mampu memperpanjang waktu bebas progresi penyakit hingga 36% dibanding kelompok kontrol.


Pendekatan Medis Presisi dan Respons Individu terhadap Vitamin D


Perlu diketahui bahwa efektivitas vitamin D bisa berbeda pada tiap individu. Variasi genetik pada gen VDR, CYP24A1 (enzim pemecah vitamin D), dan CYP27B1 (enzim pengaktif) dapat memengaruhi respons tubuh terhadap suplementasi vitamin D.


Dalam inisiatif medis presisi tahun 2024, para peneliti di Dana-Farber Cancer Institute menyarankan penggunaan indeks respons genetik terhadap vitamin D untuk menyesuaikan dosis secara personal. Dengan pendekatan ini, terapi tidak lagi bersifat satu ukuran untuk semua, melainkan disesuaikan dengan profil genetik pasien.


Pedoman Praktik Klinik dan Waspada Efek Samping


Meskipun hasil riset semakin menjanjikan, pedoman klinis resmi masih bersikap hati-hati. Lembaga seperti USPSTF dan NCCN menyatakan bahwa perlu lebih banyak penelitian jangka panjang sebelum suplementasi dosis tinggi bisa direkomendasikan secara luas. Mengonsumsi vitamin D dalam jumlah besar tanpa pengawasan bisa menimbulkan masalah, seperti gangguan ginjal atau penumpukan kalsium di tubuh.


Kadar optimal 25(OH)D untuk pencegahan kanker kolorektal diperkirakan antara 40–60 ng/mL. Penting bagi tenaga medis untuk melakukan penilaian individual, terutama bagi pasien dengan gangguan penyerapan, obesitas, atau penyakit ginjal kronis.


Vitamin D kini berada di garis depan dalam riset pencegahan kanker, khususnya kanker kolorektal. Dari cara kerjanya yang kompleks hingga potensi memperpanjang usia pasien, vitamin ini layak mendapat perhatian lebih. Namun, para ahli seperti Prof. JoAnn E. Manson dari Brigham and Women's Hospital mengingatkan bahwa harapan ini harus dijalani dengan pendekatan ilmiah yang ketat, bukan sekadar antusiasme sesaat.