Diabetes tipe 1 (T1D) selama ini dikenal sebagai penyakit autoimun yang hanya bisa ditangani setelah gejalanya muncul. Namun kini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, pendekatan terhadap penyakit ini mulai berubah.
Para ilmuwan dan dokter spesialis endokrin serta imunologi mulai menyatukan suara: intervensi dini sebelum kadar gula darah meningkat secara signifikan bisa menjadi kunci untuk mengubah jalannya penyakit ini. Tidak seperti diabetes tipe 2 yang lebih berkaitan dengan pola hidup, T1D disebabkan oleh serangan sistem kekebalan tubuh terhadap sel beta di pankreas.
Teplizumab: Senjata Baru Penunda Diabetes
Salah satu terobosan paling mencolok dalam pencegahan T1D adalah hadirnya teplizumab, antibodi monoklonal yang disetujui oleh FDA pada tahun 2022 dengan nama dagang Tzield. Obat ini ditujukan bagi individu yang memiliki risiko tinggi terkena T1D, dengan tujuan menunda munculnya gejala. Cara kerjanya adalah dengan menempel pada protein CD3 di sel T, sehingga aktivitas autoimun terhadap sel beta pankreas dapat ditekan.
Sebuah uji klinis fase 2 yang dipimpin oleh Dr. Kevan Herold dari Universitas Yale menunjukkan hasil menjanjikan. Para peserta yang memiliki kerabat penderita T1D dan terdeteksi memiliki antibodi autoimun, mengalami penundaan rata-rata 2,1 tahun dalam munculnya penyakit setelah mendapat terapi teplizumab. Efek ini lebih terasa pada peserta yang lebih muda dan yang belum mengalami banyak kehilangan C-peptida (indikator fungsi sel beta).
Efek Imunologi Teplizumab yang Menjanjikan:
- Meningkatkan ekspresi penanda kelelahan sel T (seperti EOMES dan TIGIT).
- Meningkatkan jumlah sel T regulator (Tregs) yang berperan menjaga keseimbangan imun.
- Menurunkan secara selektif aktivitas sel T CD8+ yang menyerang sel beta pankreas.
- Membantu menjaga produksi insulin alami dalam tubuh.
Siapa yang Layak Mendapatkan Terapi Ini?
Agar terapi pencegahan ini bisa diterapkan secara tepat, penting untuk mengenali siapa saja yang berada dalam kelompok risiko tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Anette-Gabriele Ziegler dari Helmholtz Zentrum München telah mengembangkan model risiko berdasarkan tahapan autoimun, jumlah autoantibodi, biomarker metabolik, dan kecenderungan genetik (seperti HLA-DR3/4 dan DQ8).
Anak-anak yang memiliki dua atau lebih autoantibodi terhadap pulau pankreas diketahui memiliki risiko lebih dari 80% terkena T1D dalam 10 tahun ke depan. Studi TEDDY (Environmental Determinants of Diabetes in the Young) juga menyoroti pentingnya faktor genetik, infeksi di usia dini, dan perubahan mikrobiota usus dalam memicu autoimunitas terhadap sel beta.
Obat-Obatan Baru Siap Gantikan Cara Lama
Selain teplizumab, beberapa terapi lain tengah dikembangkan untuk menghentikan atau memperlambat serangan sistem imun sejak tahap awal:
- Abatacept: Obat yang mencegah aktivasi sel T dan menunjukkan hasil moderat dalam melindungi fungsi sel beta.
- Antibodi anti-IL-21: Sedang diuji dalam uji klinis fase 2 untuk menghambat peradangan dan memulihkan toleransi imun.
- Rituximab (anti-CD20): Digunakan untuk kondisi autoimun lainnya, rituximab juga menunjukkan kemampuan sementara untuk menjaga kadar C-peptida, walau efek jangka panjangnya kurang kuat.
- GAD-alum: Kombinasi antigen dengan imunomodulator yang bertujuan membangun kembali toleransi tubuh terhadap sel beta.
Peran Mikroba Usus: Kunci Baru Pencegahan?
Salah satu aspek menarik dalam studi T1D adalah keterkaitannya dengan mikrobiota usus. Peneliti dari Karolinska Institutet dan proyek DIABIMMUNE menemukan bahwa anak-anak dengan risiko tinggi mengalami penurunan jumlah bakteri Faecalibacterium prausnitzii dan Roseburia, mikroba yang diketahui memproduksi asam lemak rantai pendek (SCFA).
SCFA ini penting untuk berkembangnya sel T regulator dan keseimbangan sistem kekebalan tubuh. Studi transplantasi mikrobiota feses pada tikus NOD menunjukkan bahwa manipulasi mikrobiota bisa mengembalikan toleransi imun dan melindungi sel beta, terutama jika dikombinasikan dengan terapi imun dosis rendah. Saat ini, uji klinis pada manusia sedang berlangsung di Finlandia dan Swedia menggunakan intervensi sinbiotik dan prebiotik.
Tantangan Etika: Apakah Perlu Deteksi Dini pada Anak Tanpa Gejala?
Meski potensinya luar biasa, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah anak-anak tanpa gejala perlu dites autoantibodi? Bagaimana sebaiknya orang tua diberi informasi bila anaknya ternyata positif?
Diperlukan infrastruktur yang mendukung konseling genetik, dukungan psikologis, serta panduan terapi yang jelas. Sistem asuransi dan kebijakan kesehatan publik juga perlu disesuaikan agar mendukung skrining dini dan terapi imun preventif, yang saat ini masih belum merata di berbagai negara.
Langkah ke Depan: Menuju Era Endokrinologi Pencegahan
Saat ini, fokus penelitian tak hanya pada pencegahan, tetapi juga menjaga masa remisi awal setelah diagnosis, yang sering disebut “fase bulan madu”. Jika terapi masa depan mampu mempertahankan fungsi sel beta dalam jangka panjang, maka komplikasi bisa ditekan dan kualitas hidup penderita meningkat drastis.
Dunia medis kini menjajaki strategi kombinasi seperti:
- Pemberian bertahap berbagai imunoterapi.
- Terapi mikrobiota sebagai pendukung.
- Dosis terapi berdasarkan biomarker.
- Pemanfaatan kecerdasan buatan untuk memprediksi gejolak sistem imun.
Selama puluhan tahun, T1D dianggap sebagai kondisi tak terelakkan. Namun, kehadiran agen seperti teplizumab dan pendekatan skrining canggih membuka babak baru. Konsep pencegahan dalam penyakit autoimun kini bukan sekadar teori, melainkan kenyataan medis yang sedang berkembang.